Suara adzan terdengar sampai ke ujung desa, huru hara berubah menjadi sepi. Lasmi seorang wanita muda sedang berdiam diri, mengikuti setiap lafaz seruan Illahi Robbi. Mendoakan suami yang berhasil ditangkap polisi.
Perasaan Lasmi hanyut dalam
situasi, Lasmi sudah tak mau lagi buka warung nasi, karena dia tak mau lagi ada
caci yang selalu membisiki. "Kenapa manusia tak punya hati, dalam situasi
seperti ini, bukan peduli yang kudapat, justru caci maki dari mereka yang
kuterima. Apa salah saya Gusti?"
Hidup Lasmi kini mulai teruji,
ditengah himpitan ekonomi yang harus mulai mencari nafkah sendiri, Lasmi harus
menanggung beban hutang sang suami. Lasmi hanya bisa diam dan menangis dalam
heningnya suasana maghrib.
Bukan hanya Lasmi yang
kaget, semua penduduk desa bingar. Setelah polisi membawa Sugeng, Lasmi jadi
pusat cibiran sana-sini. "Dasar pasangan suami isteri tak tahu diri, tak tahu
hukum keramat, pecinta laknat. Jangan
sampai kami semua dapat murka Gusti, karena kamu masih tetap disini, pergi kamu dari kampung kami, susul suamimu
saja sana di kantor polisi."
Tengadah tangan Lasmi
seolah tak berarti, tapi dia tetap bertahan dan mengharap belas kasih dari yang
Maha Tinggi. "Ya Gusti... Yang memiliki alam semesta dan isinya, yang Maha
Melindungi juga Mengasihi. Ampuni dosa mas Sugeng, lindungi dan ringankanlah
hukaman yang Engkau timpakan kepadanya di dunia ini, saya pasrah kepada seluruh
kehendak-Mu. Tapi saya apa daya jika mas Sugeng harus berlama-lama dalam jeruji
besi."
Doa Lasmi terhenti,
suara riyuh menghampiri rumah sederhana milik Lasmi. "Ada apa ini, apa yang
sedang diributkan orang-orang didepan rumahku?" Lasmi keluar dengan mukenah warna
puith yang lamat-lamat menguning karena tumpukan debu yang masih dipakainya.
"Lasmi sebaiknya kau
angkat kaki dari rumah ini, kami tak sudi punya tetangga seorang bandar togel!!!" Seru salah satu warga desa Karang Jati.
"Lalu saya harus lari
kemana? Saya tidak punya rumah lagi selain tempat ini."
"Teserah, kami tak
peduli! Kami tak mau punya tetangga yang setiap hari hidupnya dikejar hutang,
kami juga tidak mau punya tetangga seorang penjudi!!! Kami takut tertular."
"Suamiku bukan bandar
togel, suamiku bukan penjudi. Masalah hutang yang melanda kami berdua, kalian
tak perlu bersuara, itu masalah kami,"
"Yang hutang kami berdua, yang akan melunasi pun juga kami berdua. Kenapa kalian rungsing dengan masalah orang yang tak bisa kalian selesaikan. Kalian juga tidak akan pernah terjerat hutang jika hidup kalian tercukupi."
"Yang hutang kami berdua, yang akan melunasi pun juga kami berdua. Kenapa kalian rungsing dengan masalah orang yang tak bisa kalian selesaikan. Kalian juga tidak akan pernah terjerat hutang jika hidup kalian tercukupi."
"Alah... Jangan terlalu
banyak alibi. Kalau bukan penjudi, kenapa suamimu bisa jadi tahanan polisi, kamu
boleh mencintai suamimu sampai mati, tapi membela sesuatu yang sudah jelas
salah itu tak tahu diri!!!" Cela seorang bapak berambut keriting dan berkumis
lebat.
"Asal bapak tahu saja,
suamiku hanya bekerja sebagai pesuruh, bukan penjudi. Tak perlu sampai mengusirku
dan suamiku, toh justru kalianlah para penjudi."
"Jangan asal bicara
kamu Las, tidak ada bukti yang mengatakan bahwa kami penjudi." Sahut Paimin,
bujang tua yang bekerja sebagai staf kelurahan desa.
"Ah kamu Min, aparat
desa tak bermartabat, penjudi sejati yang diselimuti banyak gengsi. Jangan hanya
sembunyi dibalik pintu, buru-buru menggerutu biar orang lain tak tahu."
Semua warga terhenyak
mendengar pernyataan Lasmi, suasana riyuh dan bising warga seketika berubah
menjadi diam dan langsung menatap Paimin.
"Jaga mulutmu Lasmi, jangan
lempar kesalahanmu kepadaku!!!" Balas Paimin.
"Apa yang kalian cari dari mengusirku, ini rumahku jadi terserah aku. Tuhan
tidak akan membalas perbuatan suamiku kepadamu. Urusan kami dengan Tuhanku biar
aku dan suamiku yang menanggung."
"Hati-hati sampean kalau bicara, jangan sampai
Tuhan melaknatmu atas dosa suamimu."
"Biar saja, aku sudah
pasrah. Jika memang malam ini aku dan suamiku mati, jika memang hujan
batu menimpa rumahku, karena hukum langit terbukti,"
"Aku ikhlas, karena sebenar-benarnya yang berhak memberikan sanksi kepadaku hanya Tuhan, Gusti yang mengadakan siang dan malam tanpa henti. Bukan kalian, sekaliber seorang kyai."
"Aku ikhlas, karena sebenar-benarnya yang berhak memberikan sanksi kepadaku hanya Tuhan, Gusti yang mengadakan siang dan malam tanpa henti. Bukan kalian, sekaliber seorang kyai."
"Lihat Las, mulutmu
akan terbukti malam ini."
"Tapi jika aku selamat
bagaimana?"
"Akan selamat pula kamu
dari tuduhan kami, terserah kamu mau hidup disini sampai kapanpun, kami tak
akan risau lagi."
"Baiklah, aku pegang janji
kalian. Biar langit yang mencatatnya."
Pertengkaran sengit antara
Lasmi dan penduduk desa Karang Jati membawa pada sebuah janji. Janji keramat
yang akan membawa mati. Hukum adat sangat lekat bagi penduduk desa. Ibadah
keagamaan mereka pun masih kental dengan budaya peninggalan para sesepuh.
Banyak sekali tradisi
yang mereka lakukan, upacara sesembahan sampai larung saji. Tak bisa dipungkiri
bahwa budaya seperti ini masih sering dikaitkan dengan agama yang dianutnya.
Penduduk desa masih peduli dengan hal-hal demikian. Seperti ada garis lurus
antara budaya dan agama yang tak terelakkan.
***
Penduduk desa
menggunakan akal untuk menghayati sebuah keyakinan dan kitab suci, tanpa menggunakan hati yang sudah mereka terima dari sang Maha Pemberi. Mereka tak mengenal pembaharuan yang marak terjadi, akibatnya banyak
dari mereka yang tak mengerti. Tidak selamanya pembaharuan itu salah, meskipun
kita wajib berhati-hati.
Lasmi tak pernah
mengira akan hidup seperti ini, dia pikir suaminya bekerja sebagai kurir di pasar.
Pekerja buruh gendong yang selalu berangkat pagi dan pulang sore hari untuk
mencukupi kebutuhan isteri.
Lasmi merasa terhomati
dengan uang suci dari Sugeng. Hampir setiap hari Sugeng memberinya uang lima
belas ribu rupiah, meskipun sedikit tidak membuat cinta Lasmi padam. Lasmi pun
membantu suami mencari uang. Lasmi berjualan nasi didepan rumahnya.
Warung
Makan Mbak Lasmi sangat digemari oleh banyak orang,
karena lauk pauk yang disuguhkan sangat menarik, enak dan beragam. Tentu dengan harga yang murah meriah pula. Banyak pembeli memuji masakannya.
Meskipun Sugeng seorang
buruh gendong, dulunya Sugeng adalah pemuda terkenal dengan kharismanya. Dia
adalah seorang santri yang belajar agama dan ilmu pengetahuan di pesantren
Asmaul Husna pimpinan Kyai Hanafi, seorang kyai yang banyak dikagumi.
Kursi pemimpin sebagai lurah desa Karang Jati pun pernah menghampiri, tapi Sugeng tolak dengan alasan takut
tak bisa memegang amanat. Sugeng tak ingin menjadi pemimpin
waktu itu.
Tawaran itu berubah
menjadi desakan sana-sini, banyak warga yang mendesak agar Sugeng menerima jabatan
tersebut. Lasmi sebagai isteri hanya bisa menyemangati agar suaminya mengambil
keputusan tepat.
"Mas, apapun
keputusanmu tidak akan merubah cinta dan hormatku kepadamu. Tapi akan lebih
bijak jika mas Sugeng memikirkannya terlebih dahulu, sebelum Mas Sugeng menolak
mentah-mentah tawaran dari warga."
"Aku merasa tidak
sanggup, Las. Aku belum bisa memimpin diriku sendiri, bagaimana aku akan
memimpin mereka. Menjadi seorang pemimpin itu tidaklah mudah. Aku saja masih terus
berusaha membenahi diri, karena aku juga sudah menjadi pemimpin
dirumah ini sekarang."
"Tapi Mas, ilmu yang
sudah kamu pelajari selama di pesantren merupakan tanggung jawab yang harus
kamu berikan kepada warga juga, kepada desa kita. Jangan kamu pendam sendiri."
"Masih banyak yang
pantas menjadi petinggi, tapi bukan aku Lasmi. Bertanggung jawab atas ilmu yang
sudah aku terima tidak harus menjadi lurah. Banyak hal yang bisa kita lakukan
untuk itu. Mas Sugeng tidak berharap apa-apa, kecuali keutuhan keluarga ini."
"Kalau begitu baiklah,
aku tetap mendukungmu Mas."
"Sudah, Mas Sugeng
berangkat ke pasar dulu, kamu jaga diri baik-baik dirumah."
Harmoni yang begitu
syahdu terpancar dari keluarga sederhana ini, pasangan suami isteri yang belum
dikaruniai seorang anak. Sugeng dan Lasmi tak lantas putus asa, mereka selalu
berusaha agar bisa mendapatkan momongan. Mereka berdua hidup rukun dan bahagia.
Sugeng menjadi pusat
perhatian penduduk desa, banyak sekali yang memuji tapi tak sedikit pula yang
mencaci karena benci. Paimin adalah salah satu teman kecil Sugeng sampai sekarang.
Hampir setiap hari, hampir disetiap acara yang melibatkan keduanya. Sugeng
selalu jadi yang banyak dipuji, sementara Paimin sering dibanding-bandingkan dengannya.
"Lihat itu Sugeng,
laki-laki pintar, bertanggung jawab dan sayang terhadap isterinya. Contoh kepala
keluarga yang patut dijadikan contoh. Tidak seperti kamu Paimin, bujang tua
yang kerjanya cari pelampiasan setiap malam. Penyakit saja isinya." Cletuk
seorang ibu sembari menggendong anak balitanya.
Bak disambar bledek,
Paimin marah dan semakin benci kepada Sugeng. Tanpa henti Sugeng pun mulai melayangkan
aksinya. Paimin sudah tak mau lagi harga dirinya dikecilkan karena Sugeng, yang
dianggapnya sebagai laki-laki lemah tak bertenaga karena belum bisa menghamili sang isteri.”
***
Pagi itu, Paimin
mendekati Sugeng. Paimin meminta Sugeng menghadiri rapat yang akan diadakannya
dirumah pribadi Paimin. Menurut Paimin alasan rapat dengan menggunakan nama
desa merupakan cara jitu yang bisa diterima oleh Sugeng.
Pagi berganti senja,
puluhan burung emprit bercicuit diatas sarangnya, langit menguning dengan
indahnya. Gemercik air sungai mengalir deras. Kerbau, sapi dan ternak lain
mulai digiring kembali ke kandang oleh pemiliknya.
Petani dan pembajak
sawah mulai beriringan pulang bersama, para isteri menyiapkan hidangan dan
suami melahapnya. Silir angin menghembus, dingin mulai meraja lela. Senja berangsur
menjadi gelap.
Cahaya temaran dari
lampu teplok mulai menyala, satu per satu menutup jendela. Sepi, sunyi, hening
suasana malam kala itu. Setapak jalanan mulai dilalui Sugeng. Setelah menempuh
perjalanan yang cukup gelap dan tanah becek yang dilaluinya. Akhirnya Sugeng sampai
dirumah Paimin.
"Kulo nuwun, Mas Paimin..."
"Oh kamu sudah datanng,
ayo-ayo masuk saja."
"Loh kok sepi Mas, mana
yang lain? Katanya ada rapat desa."
"Aku sengaja tak
mengundang mereka, Geng. Aku hanya ingin berdiskusi denganmu saja. Barang kali
kamu bisa memberikan ide dan gagasan baru buat kegiatan yang berguna di desa
kita, tapi Geng, panggil aku dengan sebutana nama saja. Toh kita seumuran kan?" Paimin meyakinkan.
"O alah mas... Jika
memang seperti itu, kenapa tidak tadi pagi saja pas kita bertemu. Waduh Mas, meskipun mas Paimin satu umuran denganku, tapi mas Paimin seorang staf kelurahan yang harus dihormati dan disegani."
"Kan biar lebih enak ngobrolnya, jadi aku sengaja undang sampean dateng tindak mriki. Walah-walah ndandak ngunu barang, yawislah sakpenakmu wae."
"Kan biar lebih enak ngobrolnya, jadi aku sengaja undang sampean dateng tindak mriki. Walah-walah ndandak ngunu barang, yawislah sakpenakmu wae."
"Baiklah mas, kalau
begitu ada apa?"
"Monggo disekecakake penganan lan ombene rumiyen."
"Nggih-nggih mangke kula telaske sedoyo, matur suwun."
Asap rokok kretek
mengepul dari mulut Sugeng dan Paimin, keduanya terlibat pembicaraan yang
sangat serius. Paimin membicarakan program desa yang akan ditawarkan kepada
para penduduk dengan pasti. Sugeng sesekali memberikan saran kepadanya.
Ditengah percakapan,
Paimin tak ragu akan gagasan Paimin yang begitu cerdas. Paimin percaya, jika
gagasan ini dapat dikerjakan, pasti penduduk desa akan menyangjungnya. Tapi
kebencian itu masih ada, Paimin justru semakin benci dan iri. Hatinya mulai
tertutup, akalnya bekerja bagaimana cara menghabisinya.
Obrolan berkembang
semakin panjang dan lebar, sampai tak sadar sudah tengah malam. Mengingat
Lasmi pasti menunggu kepulangannya. Sugeng memutuskan pulang ke rumah. Sugeng pamit
pulang membawa uang desa yang diserahkan kepadanya.
Uang tersebut untuk membeli
sejumlah karung pupuk, bibit tumbuhan dan pembasmi hama di pasar. Sugeng
menerima mandat tersebut. Karena Sugeng merasa hampir setengah waktunya dia
habiskan di pasar. Jadi tidak ada salahnya dia ikut membantu Paimin
membelanjakan uang tersebut.
Malam yang pekat,
dingin yang menusuk kulit membuatnya menggigil dijalan. Sugeng terus berjalan
cepat. Suara hewan malam saling bersahutan menggiring langkah Sugeng semakin
cepat. Gesekan daun-daun kelapa karena angin pun membuat malam menjadi kian
pekat.
Di persimpangan jalan,
Sugeng digerogoti apes dan sial. Dia dihadang oleh sekelompok orang menggunakan
celurit, uang itu dirampas dengan paksa. Sugeng pun diancam akan dibunuh jika
dia berteriak meminta tolong. Sugeng tak bisa berbuat apa-apa. Dia ikhlaskan
uangnya dibawa lari oleh para perampok.
***
Dengan segala
kebingungan dan takut, Sugeng pulang dengan berlari. Dia gedor pintu dengan
tidak hati-hati. Membuat jantung Lasmi berdegup kencang. Sugeng ceritakan
musibah yang menimpanya. Kini kesedihan menyelimuti keduanya. Dari mana mereka bisa mencari uang untuk menggantinya dengan jumah yang sangat banyak dalam sehari.
Sugeng tak punya
apa-apa lagi, sementara kalung dan cincin Lasmi juga baru saja terjual untuk
menutupi cicilan biaya rumah sakitnya yang masih menunggak. Lasmi pernah
terserang demam berdarah, sehingga
membutuhkan perawatan yang cukup intensif.
Sugeng dan Lasmi saling
bertatapan, ada kebingungan dan luka yang mendalam disetiap pancaran keduanya.
Mereka berdua terus berpikir dan berpikir sampai pagi menjelang. Suasana begitu
sangat menegangkan.
Keesokan harinya Sugeng
dan Lasmi memutuskan mengambil pinjaman di Koperasi Simpan Pinjam atau lebih
akrab dengan sebutan Bank tongol.
Kebanyakan orang bilang koperasi jenis ini hanya membuat masalah menjadi
semakin bermasalah.
Koperasi Simpan Pinjam
yang marak dikalangan masyarakat kelas menengah dan bawah ini, merupakan jenis
koperasi yang tidak memiliki ijin usaha koperasi. Pun jika jenis koperasi ini
masih beroperasi, biasanya koperasi tersebut mengantongi ijin usaha yang tidak
berlaku atau ilegal. Bisa saja ada campur tangan oknum didalamnya.
Suku bunga yang dipatok
kepada peminjam pun menacapai 30% sampai 40% dari nominal yang dipinjam. Ini
melibihi suku bunga yang ada di Bank resmi.Tentu koperasi ini menyalahi
ketentuan undang-undang perkoperasian yang berlaku.
Biasanya mereka
menawarkan pinjaman dengan cicilan rendah, jumlah yang harus mereka bayar
mencapai lima ribu per-hari sampai seratus lima puluh ribu per-minggu. Padahal kalau dihitung-hitung mencapai suku bunga yang tinggi.
Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomer 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam
oleh Koperasi, badan hukum koperasi hanya diperbolehkan kepada para anggotanya
saja. Tapi yang terjadi koperasi ini memiberikan pinjaman kepada semua
masyarakat tanpa harus menjadi anggotanya terlebih dahulu.
Ironisnya banyak orang awam menggunakan cara tersebut untuk menutupi kekurangan atau menambah modal usahanya, karena tak dapat dipungkiri dari mana lagi mereka bisa terus melanjutkan hidup yang serba mahal ini.
Ironisnya banyak orang awam menggunakan cara tersebut untuk menutupi kekurangan atau menambah modal usahanya, karena tak dapat dipungkiri dari mana lagi mereka bisa terus melanjutkan hidup yang serba mahal ini.
Siapa yang tahu, nasib
Sugeng dan Lasmi kini berubah. Mereka berdua terjerat hutang piutang. Penghasilan keduanya pun jika digabungkan belum bisa mencukupi biaya hidupnya sehari-hari apalagi untuk membayar cicilan hutang.
Sugeng dan Lasmi harus memulai kerja ekstra, Sugeng jadi jarang pulang. Dia perpanjang waktu kerjanya sampai pagi ketemu pagi. Begitupun Lasmi, pagi dia berjualan nasi, sementara malamnya dia membantu jaga toko obat milik tetangganya.
Sugeng dan Lasmi harus memulai kerja ekstra, Sugeng jadi jarang pulang. Dia perpanjang waktu kerjanya sampai pagi ketemu pagi. Begitupun Lasmi, pagi dia berjualan nasi, sementara malamnya dia membantu jaga toko obat milik tetangganya.
Memang susah mencari
tetangga yang baik, yang tidak pernah peduli mengurusi persoalan suami isteri
yang lain. Apa yang sebenarnya dalam ajaran agama memang tak sebenarnya apa
yang manusia amalkan di dunia. Banyak yang begitu.
Mereka mengaku sebagai
jamaah yang taat, mereka dekat dengan Tuhannya. Tapi hubungan mereka dengan
manusia lain saling adu gengsi. Sekecil apapun masalah yang dihadapi, akan
menjadi lubang yang akan terus digali.
Hutang yang menjerat
Sugeng dan Lasmi terdengar sampai pelosok desa. Mereka kini jadi perbincangan
hangat yang sering digunjingkan orang-orang. Lasmi sudah mendengar kabar itu,
tapi dia tak mau ambil pusing dan peduli.
"Toh kalaupun aku ceritakan
masalah yang sesungguhnya. Apa mereka mau menerima? Apalagi ini menyangkut soal
uang. Mereka tidak akan peduli, justru caci maki dari mereka yang aku terima
setiap hari. Ini tetap akan menjadi omongan sana-sini!" Keluh Lasmi kepada suami.
Semakin hari kondisi
keuangan Sugeng dan Lasmi tak terkendali. Sugeng pun mulai mendapat tawaran
sebagai penjual togel, dengan iming-iming keuntungan yang besar. Tawaran
tersebut datang dari Paimin. Awalnya Sugeng menolak, karena pernah mendengar kabar bahwa polisi sering megadakan operasi. Tapi Paimin lagi dan lagi mulai mendesaknya.
Satu kupon togel berharga
seribu rupiah, setiap kupon hanya bisa diisi dengan satu bilangan, yang teridri
dari; dua angka, tiga angka bahkan empat angka. Jika pemain atau pembeli
berhasil menebak nomer yang keluar, maka mereka akan mendapatkan hadiah dengan
ketentuan sesuai dengan jumlah nomer tebakan yang dipasang.
Togel merupakan
jenis permainan yang bisa membuat banyak orang mabuk kepayang, senang karena
menguntungkan, tapi tak jarang sangat merugikan. Permainan ini sempat mendapat
ijin pemerintah pada tahun 1986.
Meskipun pemerintah
sudah menutup dan menyatakan larangan permainan ini pada awal tahun 1990, masih
banyak kalangan yang menggunakan cara ini mencari pundi-pundi rejeki. Permainan
ini dilakukan secara sembunyi dan hati-hati. Tapi pengelolaannya dilakukan
secara modern dan tersebar sampai kepenjuru negeri.
"Ah aku coba saja
sekali, cukup sekali jika memang apa yang dikatakan Paimin benar. Aku tak perlu
lagi cari uang seperti ini, begitu pun Lasmi. Aku sudah lelah kerja sana-sini, toh aku hanya sebagai pesuruh saja bukan pembeli." Sugeng berbicara sendiri.
Dengan diam dan
sembunyi-sembunyi, Sugeng mengikuti cara Paimin mengais rejeki. Sugeng menjadi
pesuruh orang-orang yang mau membeli togel dengan harga tinggi. Jika nomor
togel itu berhasil keluar, maka Sugeng akan mendapat gaji yang lumayan tinggi
dari pembelinya.
Rata-rata pembelinya
adalah orang-orang kaya yang seharusnya sudah tak perlu lagi mencari uang
dengan cara seperti ini. “Tenyata banyak orang kaya penuh gengsi, mencari
rejeki agar bisa buat iri. Tak pernah puas dengan apa yang diberi Gusti”. Geming
Sugeng dalam hati.
Setelah beraksi Paimin
mendapat upah nyali terlebih dulu, satu pembeli memberikan upah sebesar dua
puluh ribu rupiah. Selebihnya akan diberi gaji setelah nomer togel berhasil keluar
sebagai pemenang.
Dengan riang Sugeng
kembali pulang, dia berhasil mendapat seratus lima puluh ribu rupiah dalam satu
hari. Lasmi menyiapkan makan malam untuk suaminya. Menunya nasi liwet, ikan
asin dan sambal terasi. Makanan tersebut dianggap paling nikmat oleh keduanya.
Saking lelah dan habis
tenaganya untuk bekerja seharian, keduanya makan dengan lahap. Sugeng dan Lasmi
duduk berhadapan sembari bercerita
kejadian apa saja yang mereka temui dan hadapi sewaktu bekerja.
Sugeng berterus terang
dari mana dia mendapat uang sebanyak itu, meskipun Lasmi tidak bisa terima
dengan pekerjaan Sugeng sekarang. Tapi Lasmi mencoba mengerti dan memahami
kondisi yang dihadapi suami. Lasmi kubur rasa kecewa itu dalam-dalam. Bagaimana
pun usaha sang suami harus mendapat puji. Karena siapa yang mau peduli, kalau
bukan isterinya sendiri.
"Apapun yang Mas Sugeng
kerjakan, Lasmi akan menerima dan mendukungnya. Tapi kalau bisa jangan lakukan
itu lagi, Lasmi pegang Janji mas Sugeng,"
"Selain dilarang dan melanggar hukum, Lasmi tidak mau kita berdua menjadi golongan orang-orang yang berputus asa. Orang-orang yang dibutakan jalannya mencari rejeki."
"Selain dilarang dan melanggar hukum, Lasmi tidak mau kita berdua menjadi golongan orang-orang yang berputus asa. Orang-orang yang dibutakan jalannya mencari rejeki."
“Iya Las, Mas janji tidak
akan pernah melakukan ini lagi. Ini cuma sekali, makanya Mas berharap salah
satu nomer yang Mas beli bisa keluar jadi pemenang,"
"Agar Mas mendapat bayaran dan bisa melunasi hutang-hutang kita. Setelah ini selesai, mas akan segera mengakhirinya. Mas sendiri malu, agama yang sudah Mas pelajari jadi tidak ada gunanya."
"Agar Mas mendapat bayaran dan bisa melunasi hutang-hutang kita. Setelah ini selesai, mas akan segera mengakhirinya. Mas sendiri malu, agama yang sudah Mas pelajari jadi tidak ada gunanya."
"Semoga Gusti
memberikan yang terbaik, agar kelak kita bisa menjadi golongan orang-orang yang
baik.Tak perlu disesali Mas, Gusti Maha Pengampun lagi Maha Mengetahui."
"Amiin ya Robb, jika
Tuhan selalu berbelas kasih, Dia tidak akan pernah lupa memberi kasihnya kepada
kita semua."
***
Ayam berkokok, Lasmi
dan Sugeng memutuskan untuk tidak berangkat kerja hari ini. Mereka ingin istirahat
dan menikmati hari. Bercengkrama, memasak makanan yang disukai dengan seadanya.
Pasangan suami isteri ini memaku saling memuji.
Siang sekitar pukul
11.00 WIB, rumah Sugeng dan Lasmi disantroni polisi. Suara Paimin terdengar
sampai ruang televisi. Karena curiga dari mana suara itu datang menghampiri.
Sugeng dan Lasmi keluar rumah.
"Nah, itu dia Pak.
Sugeng si bandar togel yang Bapak cari selama ini. Tangkap dia saja Pak, hukum
dia dengan seadil-adilnya."
"Selamat siang Pak
Sugeng, kami dari kepolisian membawa surat tangkapan sodara atas tuduhan bandar
togel."
"Sebentar Pak, mungkin
Bapak salah orang. Saya bukan bandar togel, saya seorang buruh gendong di pasar."
"Sebaiknya Bapak
jelaskan saja nanti di kantor."
"Maaf Pak, mana bukti
yang mengatakn suami saya seorang bandar togel." Sela Lasmi dengan nada tinggi.
"Sodara Paimin sebagai
saksinya." Sahut polisi bernama Suparman.
"Kurang ajar kamu Min,
kamu khianati aku, ini fitnah... ini fitnah!!!" Teriak Sugeng.
"Tidak ada fitnah, karena
semua ini berdasarkan bukti, sudahlah jangan berkelit, kamu patut diadili." Balas
Paimin.
"Kamu Min, tega sekali
kamu lakukan ini kepadamu suamiku, apa salah suamiku kepadamu." Ucap Lasmi
dengan raut muka penuh emosi.
"Sudah sebaiknya kalian
jelaskan di kantor saja." Suara polisi tak berseragam.
"Lasmi."
"Mas Sugeng... Mas...
Mas Sugeng..." Isak tangis Lasmi membanjiri langkah kepergian Sugeng bersama
Polisi.
Semua warga berkerumun
menyaksikan penangkapan Sugeng, tak ada satupun yang mencoba menenangkan Lasmi.
Semuanya melihat dengan pandangan tajam penuh arti. Kecuali satu tetangga yang
memang sangat dekat dengan Lasmi.
“Sabar Mbak, semua ini
atas kehendak-Nya, ini merupakan ujian bagi Mbak Lasmi dan suami. Semoga kuat
iman dan karena apapun semata-mata untuk menempatkan kalian sebagai makhluk
yang dikasihi-Nya”. Sulastri mencoba menenangkan.
***
Malam itu, malam yang
dipenuhi dengan kabut tebal. Udara dingin berhasil menembus dinding setiap
rumah warga. Suara bledek saling bergemuruh, pertanda akan turun hujan deras.
Angin ribut meringkus tumpukan debu dan pasir. Membuatnya berhamburan dan
beterbangun.
Dalam malam, Lasmi
tetap duduk bersila memanjat doa keselamatan bagi dirinya dan suami. Lasmi
takut jika memang akan turun hujan batu menimpa rumahnya. Lasmi mawas diri, dia
serahkan hidupnya dengan sepenuh jiwa.
"Kepada siapa lagi saya
kembali, kalau bukan kepada-Mu ya Rabbi. Kau yang berhak memberikan sanksi
kepadaku. Aku takut kepada-Mu ya Gusti. Saya dan suami adalah pembuat dosa.
Ampuni dosa kami. Berika kepada kami keadilan-Mu ditanah ini." Lasmi menangis
sesenggukan sampai dia jatuh pingsan, tak ada yang bisa menolong Lasmi. Karena
dia dirumah seorang diri.
Sudah cukup lama Lasmi
jatuh pingsan, Lasmi terbangun dalam kondisi lunglai karena seharian tak makan.
Lasmi bangun dan meminum segelas air putih. Lasmi duduk sambil meratapi apa
yang sedang terjadi.
Suara detik jam dinding
menemani sunyinya Lasmi, Lasmi melihat cahaya matahari masuk melalui fentilasi.
Lasmi teringat dia jatuh pingsan semalam tadi. Dan sekarang dia terbangun tanpa
luka sedikitpun yang ada ditubuhnya. Lasmi bergegas keluar rumah.
"Wahai penduduk desa
Karang Jati, lihatlah apa yang terjadi! Tak ada luka sedikitpun. Tuhan menyelamatkanku
dari tuduhan kalian kepadaku. Bukti Tuhan lebih utama dari pada bukti-bukti
kalian, Lihatlah, apa yang akan kalian cari lagi,"
“Apa yang kami alami
adalah apa yang kami hadapi, bahkan kalian tetangga yang harusnya peduli tapi
justru mencaci setengah mati. Kutukan keramat dan adat yang ada didesa ini,
jelas tak terjadi”.
"Tak ada sesaji dirumah
kami, aku berdoa larut malam sampai jatuh pingsan. Aku berdoa dengan sepenuh
hati, meminta belas kasih sang Gusti. Lihatlah, lihat....!!!"
Suasana desa menjadi
hening menyaksikan Lasmi berseru didepan rumahnya, air mata pun tak luput
meembanjiri pipinya. Semua warga tertegun berdiri kaku melihat apa yang
terjadi. Hukum keramat yang mereka percaya, benar-benar tak terjadi.
Dari kejauhan terdengar suara teriakan memanggil nama Lasmi, semua menjadi semakin bingung, saling memandang
dan bertanya-tanya. Lasmi yang mengenal suara itu menjadi semakin tak karuan,
rasanya tumpah ruah dan akhirnya menangis lagi.
Tapi lama-lama suara
itu semakin dekat, sampai batas penglihatan manusia, mulai muncul Sugeng sedang
berlari memanggil-manggil nama Lasmi. Dia berlari menuju arah Lasmi. Lasmi
berdiri dan kaget melihat suami bisa kembali.
"Lasmi...."
"Mas Sugeng... Mas Sugeng..."
"Lasmi aku bebas dari
tuduhan tersebut, bahkan aku dapat ganti rugi." Lasmi dan Sugeng saling
berpelukan dengan erat, melepas bahagia bisa bersama lagi.
"Matur sembah nuwun Gusti... Engkau tunjukkan kepada kami sebenar-benarnya
bukti." Doa Lasmi.
"Tadi pagi aku dilepas
dari tudahan yang ditujukan Paimin kepadaku, karena aku tidak terbukti menjual
togel apalagi berperan sebagai bandarnya. Memang aku pernah membeli, itupun
sebagai pesuruh saja, tapi tak ada bukti aku pernah membeli, jadi aku
dilepaskan,"
"Justru sekarang polisi
yang akan mengangkap perbuatan keji Paimin, dialah bandar togel yang
sebenarnya. Dan yang merampok uangku ditengah perjalanan pulang juga anak buah
Paimin. Jadi aku bebas dari tahanan dan menuntut balas keadilan. Selain akan
dibui dia kutuntut ganti rugi."
Semua warga merasa
sangat malu telah menuduh pasangan suami isteri ini, mereka sadar bahwa
kebahagian Sugeng dan Lasmi memang sejati. Hidup sederhana dan menikmati apa
yang diberi dari Sang Maha Pemberi dengan syukur nikmat. Menjual diri dengan
gengsi demi sebuah tendensi, akan mengakibatkan luka hati. Entah persidangan
negeri atau akhirat nanti.
~
sampun ~