Suara adzan terdengar sampai ke ujung desa, huru hara berubah menjadi sepi. Lasmi seorang wanita muda sedang berdiam diri, mengikuti setiap lafaz seruan Illahi Robbi. Mendoakan suami yang berhasil ditangkap polisi.

Perasaan Lasmi hanyut dalam situasi, Lasmi sudah tak mau lagi buka warung nasi, karena dia tak mau lagi ada caci yang selalu membisiki. "Kenapa manusia tak punya hati, dalam situasi seperti ini, bukan peduli yang kudapat, justru caci maki dari mereka yang kuterima. Apa salah saya Gusti?"

Hidup Lasmi kini mulai teruji, ditengah himpitan ekonomi yang harus mulai mencari nafkah sendiri, Lasmi harus menanggung beban hutang sang suami. Lasmi hanya bisa diam dan menangis dalam heningnya suasana maghrib.

Bukan hanya Lasmi yang kaget, semua penduduk desa bingar. Setelah polisi membawa Sugeng, Lasmi jadi pusat cibiran sana-sini. "Dasar pasangan suami isteri tak tahu diri, tak tahu hukum keramat, pecinta laknat.  Jangan sampai kami semua dapat murka Gusti, karena kamu masih tetap disini,  pergi kamu dari kampung kami, susul suamimu saja sana di kantor polisi."

Tengadah tangan Lasmi seolah tak berarti, tapi dia tetap bertahan dan mengharap belas kasih dari yang Maha Tinggi. "Ya Gusti... Yang memiliki alam semesta dan isinya, yang Maha Melindungi juga Mengasihi. Ampuni dosa mas Sugeng, lindungi dan ringankanlah hukaman yang Engkau timpakan kepadanya di dunia ini, saya pasrah kepada seluruh kehendak-Mu. Tapi saya apa daya jika mas Sugeng harus berlama-lama dalam jeruji besi."

Doa Lasmi terhenti, suara riyuh menghampiri rumah sederhana milik Lasmi. "Ada apa ini, apa yang sedang diributkan orang-orang didepan rumahku?" Lasmi keluar dengan mukenah warna puith yang lamat-lamat menguning karena tumpukan debu yang masih dipakainya.

"Lasmi sebaiknya kau angkat kaki dari rumah ini, kami tak sudi punya tetangga seorang bandar togel!!!" Seru salah satu warga desa Karang Jati.

"Lalu saya harus lari kemana? Saya tidak punya rumah lagi selain tempat ini."

"Teserah, kami tak peduli! Kami tak mau punya tetangga yang setiap hari hidupnya dikejar hutang, kami juga tidak mau punya tetangga seorang penjudi!!! Kami takut tertular."

"Suamiku bukan bandar togel, suamiku bukan penjudi. Masalah hutang yang melanda kami berdua, kalian tak perlu bersuara, itu masalah kami,"

"Yang hutang kami berdua, yang akan melunasi pun juga kami berdua. Kenapa kalian rungsing dengan masalah orang yang tak bisa kalian selesaikan. Kalian juga tidak akan pernah terjerat hutang jika hidup kalian tercukupi."

"Alah... Jangan terlalu banyak alibi. Kalau bukan penjudi, kenapa suamimu bisa jadi tahanan polisi, kamu boleh mencintai suamimu sampai mati, tapi membela sesuatu yang sudah jelas salah itu tak tahu diri!!!" Cela seorang bapak berambut keriting dan berkumis lebat.

"Asal bapak tahu saja, suamiku hanya bekerja sebagai pesuruh, bukan penjudi. Tak perlu sampai mengusirku dan suamiku, toh justru kalianlah para penjudi."

"Jangan asal bicara kamu Las, tidak ada bukti yang mengatakan bahwa kami penjudi." Sahut Paimin, bujang tua yang bekerja sebagai staf kelurahan desa.

"Ah kamu Min, aparat desa tak bermartabat, penjudi sejati yang diselimuti banyak gengsi. Jangan hanya sembunyi dibalik pintu, buru-buru menggerutu biar orang lain tak tahu."

Semua warga terhenyak mendengar pernyataan Lasmi, suasana riyuh dan bising warga seketika berubah menjadi diam dan langsung menatap Paimin.

"Jaga mulutmu Lasmi, jangan lempar kesalahanmu kepadaku!!!" Balas Paimin.

"Apa yang kalian cari dari mengusirku, ini rumahku jadi terserah aku. Tuhan tidak akan membalas perbuatan suamiku kepadamu. Urusan kami dengan Tuhanku biar aku dan suamiku yang menanggung."

"Hati-hati sampean kalau bicara, jangan sampai Tuhan melaknatmu atas dosa suamimu."

"Biar saja, aku sudah pasrah. Jika memang malam ini aku dan suamiku mati, jika memang   hujan batu menimpa rumahku, karena hukum langit terbukti,"

"Aku ikhlas, karena sebenar-benarnya yang berhak memberikan sanksi kepadaku hanya Tuhan, Gusti yang mengadakan siang dan malam tanpa henti. Bukan kalian, sekaliber seorang kyai."

"Lihat Las, mulutmu akan terbukti malam ini."

"Tapi jika aku selamat bagaimana?"

"Akan selamat pula kamu dari tuduhan kami, terserah kamu mau hidup disini sampai kapanpun, kami tak akan risau lagi."

"Baiklah, aku pegang janji kalian. Biar langit yang mencatatnya."

Pertengkaran sengit antara Lasmi dan penduduk desa Karang Jati membawa pada sebuah janji. Janji keramat yang akan membawa mati. Hukum adat sangat lekat bagi penduduk desa. Ibadah keagamaan mereka pun masih kental dengan budaya peninggalan para sesepuh.

Banyak sekali tradisi yang mereka lakukan, upacara sesembahan sampai larung saji. Tak bisa dipungkiri bahwa budaya seperti ini masih sering dikaitkan dengan agama yang dianutnya. Penduduk desa masih peduli dengan hal-hal demikian. Seperti ada garis lurus antara budaya dan agama yang tak terelakkan.

***

Penduduk desa menggunakan akal untuk menghayati sebuah keyakinan dan kitab suci, tanpa menggunakan hati yang sudah mereka terima dari sang Maha Pemberi. Mereka tak mengenal pembaharuan yang marak terjadi, akibatnya banyak dari mereka yang tak mengerti. Tidak selamanya pembaharuan itu salah, meskipun kita wajib berhati-hati.

Lasmi tak pernah mengira akan hidup seperti ini, dia pikir suaminya bekerja sebagai kurir di pasar. Pekerja buruh gendong yang selalu berangkat pagi dan pulang sore hari untuk mencukupi kebutuhan isteri.

Lasmi merasa terhomati dengan uang suci dari Sugeng. Hampir setiap hari Sugeng memberinya uang lima belas ribu rupiah, meskipun sedikit tidak membuat cinta Lasmi padam. Lasmi pun membantu suami mencari uang. Lasmi berjualan nasi didepan rumahnya.

Warung Makan Mbak Lasmi sangat digemari oleh banyak orang, karena lauk pauk yang disuguhkan sangat menarik, enak dan beragam. Tentu dengan harga yang murah meriah pula. Banyak pembeli memuji masakannya.

Meskipun Sugeng seorang buruh gendong, dulunya Sugeng adalah pemuda terkenal dengan kharismanya. Dia adalah seorang santri yang belajar agama dan ilmu pengetahuan di pesantren Asmaul Husna pimpinan Kyai Hanafi, seorang kyai yang banyak dikagumi.

Kursi pemimpin sebagai lurah desa Karang Jati pun pernah menghampiri, tapi Sugeng tolak dengan alasan takut tak bisa memegang amanat. Sugeng tak ingin menjadi pemimpin waktu itu.

Tawaran itu berubah menjadi desakan sana-sini, banyak warga yang mendesak agar Sugeng menerima jabatan tersebut. Lasmi sebagai isteri hanya bisa menyemangati agar suaminya mengambil keputusan tepat.

"Mas, apapun keputusanmu tidak akan merubah cinta dan hormatku kepadamu. Tapi akan lebih bijak jika mas Sugeng memikirkannya terlebih dahulu, sebelum Mas Sugeng menolak mentah-mentah tawaran dari warga."

"Aku merasa tidak sanggup, Las. Aku belum bisa memimpin diriku sendiri, bagaimana aku akan memimpin mereka. Menjadi seorang pemimpin itu tidaklah mudah. Aku saja masih terus berusaha membenahi diri, karena aku juga sudah menjadi pemimpin dirumah ini sekarang."

"Tapi Mas, ilmu yang sudah kamu pelajari selama di pesantren merupakan tanggung jawab yang harus kamu berikan kepada warga juga, kepada desa kita. Jangan kamu pendam sendiri."

"Masih banyak yang pantas menjadi petinggi, tapi bukan aku Lasmi. Bertanggung jawab atas ilmu yang sudah aku terima tidak harus menjadi lurah. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk itu. Mas Sugeng tidak berharap apa-apa, kecuali keutuhan keluarga ini."

"Kalau begitu baiklah, aku tetap mendukungmu Mas."

"Sudah, Mas Sugeng berangkat ke pasar dulu, kamu jaga diri baik-baik dirumah."

Harmoni yang begitu syahdu terpancar dari keluarga sederhana ini, pasangan suami isteri yang belum dikaruniai seorang anak. Sugeng dan Lasmi tak lantas putus asa, mereka selalu berusaha agar bisa mendapatkan momongan. Mereka berdua hidup rukun dan bahagia.

Sugeng menjadi pusat perhatian penduduk desa, banyak sekali yang memuji tapi tak sedikit pula yang mencaci karena benci. Paimin adalah salah satu teman kecil Sugeng sampai sekarang. Hampir setiap hari, hampir disetiap acara yang melibatkan keduanya. Sugeng selalu jadi yang banyak dipuji, sementara Paimin sering dibanding-bandingkan dengannya.

"Lihat itu Sugeng, laki-laki pintar, bertanggung jawab dan sayang terhadap isterinya. Contoh kepala keluarga yang patut dijadikan contoh. Tidak seperti kamu Paimin, bujang tua yang kerjanya cari pelampiasan setiap malam. Penyakit saja isinya." Cletuk seorang ibu sembari menggendong anak balitanya.

Bak disambar bledek, Paimin marah dan semakin benci kepada Sugeng. Tanpa henti Sugeng pun mulai melayangkan aksinya. Paimin sudah tak mau lagi harga dirinya dikecilkan karena Sugeng, yang dianggapnya sebagai laki-laki lemah tak bertenaga karena belum bisa menghamili sang isteri.”

***

Pagi itu, Paimin mendekati Sugeng. Paimin meminta Sugeng menghadiri rapat yang akan diadakannya dirumah pribadi Paimin. Menurut Paimin alasan rapat dengan menggunakan nama desa merupakan cara jitu yang bisa diterima oleh Sugeng.

Pagi berganti senja, puluhan burung emprit bercicuit diatas sarangnya, langit menguning dengan indahnya. Gemercik air sungai mengalir deras. Kerbau, sapi dan ternak lain mulai digiring kembali ke kandang oleh pemiliknya.

Petani dan pembajak sawah mulai beriringan pulang bersama, para isteri menyiapkan hidangan dan suami melahapnya. Silir angin menghembus, dingin mulai meraja lela. Senja berangsur menjadi gelap.

Cahaya temaran dari lampu teplok mulai menyala, satu per satu menutup jendela. Sepi, sunyi, hening suasana malam kala itu. Setapak jalanan mulai dilalui Sugeng. Setelah menempuh perjalanan yang cukup gelap dan tanah becek yang dilaluinya. Akhirnya Sugeng sampai dirumah Paimin.

"Kulo nuwun, Mas Paimin..."

"Oh kamu sudah datanng, ayo-ayo masuk saja."

"Loh kok sepi Mas, mana yang lain? Katanya ada rapat desa."

"Aku sengaja tak mengundang mereka, Geng. Aku hanya ingin berdiskusi denganmu saja. Barang kali kamu bisa memberikan ide dan gagasan baru buat kegiatan yang berguna di desa kita, tapi Geng, panggil aku dengan sebutana nama saja. Toh kita seumuran kan?" Paimin meyakinkan.

"O alah mas... Jika memang seperti itu, kenapa tidak tadi pagi saja pas kita bertemu. Waduh Mas, meskipun mas Paimin satu umuran denganku, tapi mas Paimin seorang staf kelurahan yang harus dihormati dan disegani."

"Kan biar lebih enak ngobrolnya, jadi aku sengaja undang sampean dateng tindak mriki. Walah-walah ndandak ngunu barang, yawislah sakpenakmu wae."

"Baiklah mas, kalau begitu ada apa?"

"Monggo disekecakake penganan lan ombene rumiyen."

"Nggih-nggih mangke kula telaske sedoyo, matur suwun."

Asap rokok kretek mengepul dari mulut Sugeng dan Paimin, keduanya terlibat pembicaraan yang sangat serius. Paimin membicarakan program desa yang akan ditawarkan kepada para penduduk dengan pasti. Sugeng sesekali memberikan saran kepadanya.

Ditengah percakapan, Paimin tak ragu akan gagasan Paimin yang begitu cerdas. Paimin percaya, jika gagasan ini dapat dikerjakan, pasti penduduk desa akan menyangjungnya. Tapi kebencian itu masih ada, Paimin justru semakin benci dan iri. Hatinya mulai tertutup, akalnya bekerja bagaimana cara menghabisinya.

Obrolan berkembang semakin panjang dan lebar, sampai tak sadar sudah tengah malam. Mengingat Lasmi pasti menunggu kepulangannya. Sugeng memutuskan pulang ke rumah. Sugeng pamit pulang membawa uang desa yang diserahkan kepadanya.

Uang tersebut untuk membeli sejumlah karung pupuk, bibit tumbuhan dan pembasmi hama di pasar. Sugeng menerima mandat tersebut. Karena Sugeng merasa hampir setengah waktunya dia habiskan di pasar. Jadi tidak ada salahnya dia ikut membantu Paimin membelanjakan uang tersebut.

Malam yang pekat, dingin yang menusuk kulit membuatnya menggigil dijalan. Sugeng terus berjalan cepat. Suara hewan malam saling bersahutan menggiring langkah Sugeng semakin cepat. Gesekan daun-daun kelapa karena angin pun membuat malam menjadi kian pekat.

Di persimpangan jalan, Sugeng digerogoti apes dan sial. Dia dihadang oleh sekelompok orang menggunakan celurit, uang itu dirampas dengan paksa. Sugeng pun diancam akan dibunuh jika dia berteriak meminta tolong. Sugeng tak bisa berbuat apa-apa. Dia ikhlaskan uangnya dibawa lari oleh para perampok.

***

Dengan segala kebingungan dan takut, Sugeng pulang dengan berlari. Dia gedor pintu dengan tidak hati-hati. Membuat jantung Lasmi berdegup kencang. Sugeng ceritakan musibah yang menimpanya. Kini kesedihan menyelimuti keduanya. Dari mana mereka bisa mencari uang untuk menggantinya dengan jumah yang sangat banyak dalam sehari.

Sugeng tak punya apa-apa lagi, sementara kalung dan cincin Lasmi juga baru saja terjual untuk menutupi cicilan biaya rumah sakitnya yang masih menunggak. Lasmi pernah terserang demam  berdarah, sehingga membutuhkan perawatan yang cukup intensif.

Sugeng dan Lasmi saling bertatapan, ada kebingungan dan luka yang mendalam disetiap pancaran keduanya. Mereka berdua terus berpikir dan berpikir sampai pagi menjelang. Suasana begitu sangat menegangkan.

Keesokan harinya Sugeng dan Lasmi memutuskan mengambil pinjaman di Koperasi Simpan Pinjam atau lebih akrab dengan sebutan Bank tongol. Kebanyakan orang bilang koperasi jenis ini hanya membuat masalah menjadi semakin bermasalah.


Koperasi Simpan Pinjam yang marak dikalangan masyarakat kelas menengah dan bawah ini, merupakan jenis koperasi yang tidak memiliki ijin usaha koperasi. Pun jika jenis koperasi ini masih beroperasi, biasanya koperasi tersebut mengantongi ijin usaha yang tidak berlaku atau ilegal. Bisa saja ada campur tangan oknum didalamnya.

Suku bunga yang dipatok kepada peminjam pun menacapai 30% sampai 40% dari nominal yang dipinjam. Ini melibihi suku bunga yang ada di Bank resmi.Tentu koperasi ini menyalahi ketentuan undang-undang perkoperasian yang berlaku.

Biasanya mereka menawarkan pinjaman dengan cicilan rendah, jumlah yang harus mereka bayar mencapai lima ribu per-hari sampai seratus lima puluh ribu per-minggu. Padahal kalau dihitung-hitung mencapai suku bunga yang tinggi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomer 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi, badan hukum koperasi hanya diperbolehkan kepada para anggotanya saja. Tapi yang terjadi koperasi ini memiberikan pinjaman kepada semua masyarakat tanpa harus menjadi anggotanya terlebih dahulu

Ironisnya banyak orang awam menggunakan cara tersebut untuk menutupi kekurangan atau menambah modal usahanya, karena tak dapat dipungkiri dari mana lagi mereka bisa terus melanjutkan hidup yang serba mahal ini.

Siapa yang tahu, nasib Sugeng dan Lasmi kini berubah. Mereka berdua terjerat hutang piutang. Penghasilan keduanya pun jika digabungkan belum bisa mencukupi biaya hidupnya sehari-hari apalagi untuk membayar cicilan hutang. 

Sugeng dan Lasmi harus memulai kerja ekstra, Sugeng jadi jarang pulang. Dia perpanjang waktu kerjanya sampai pagi ketemu pagi. Begitupun Lasmi, pagi dia berjualan nasi, sementara malamnya dia membantu jaga toko obat milik tetangganya.

Memang susah mencari tetangga yang baik, yang tidak pernah peduli mengurusi persoalan suami isteri yang lain. Apa yang sebenarnya dalam ajaran agama memang tak sebenarnya apa yang manusia amalkan di dunia. Banyak yang begitu.

Mereka mengaku sebagai jamaah yang taat, mereka dekat dengan Tuhannya. Tapi hubungan mereka dengan manusia lain saling adu gengsi. Sekecil apapun masalah yang dihadapi, akan menjadi lubang yang akan terus digali.

Hutang yang menjerat Sugeng dan Lasmi terdengar sampai pelosok desa. Mereka kini jadi perbincangan hangat yang sering digunjingkan orang-orang. Lasmi sudah mendengar kabar itu, tapi dia tak mau ambil pusing dan peduli.

"Toh kalaupun aku ceritakan masalah yang sesungguhnya. Apa mereka mau menerima? Apalagi ini menyangkut soal uang. Mereka tidak akan peduli, justru caci maki dari mereka yang aku terima setiap hari. Ini tetap akan menjadi omongan sana-sini!" Keluh Lasmi kepada suami.

Semakin hari kondisi keuangan Sugeng dan Lasmi tak terkendali. Sugeng pun mulai mendapat tawaran sebagai penjual togel, dengan iming-iming keuntungan yang besar. Tawaran tersebut datang dari Paimin. Awalnya Sugeng menolak, karena pernah mendengar kabar bahwa polisi sering megadakan operasi. Tapi Paimin lagi dan lagi mulai mendesaknya.

Togel merupakan jenis permainan yang bisa membuat banyak orang mabuk kepayang, senang karena menguntungkan, tapi tak jarang sangat merugikan. Permainan ini sempat mendapat ijin pemerintah pada tahun 1986.

Meskipun pemerintah sudah menutup dan menyatakan larangan permainan ini pada awal tahun 1990, masih banyak kalangan yang menggunakan cara ini mencari pundi-pundi rejeki. Permainan ini dilakukan secara sembunyi dan hati-hati. Tapi pengelolaannya dilakukan secara modern dan tersebar sampai kepenjuru negeri.

Satu kupon togel berharga seribu rupiah, setiap kupon hanya bisa diisi dengan satu bilangan, yang teridri dari; dua angka, tiga angka bahkan empat angka. Jika pemain atau pembeli berhasil menebak nomer yang keluar, maka mereka akan mendapatkan hadiah dengan ketentuan sesuai dengan jumlah nomer tebakan yang dipasang.

"Ah aku coba saja sekali, cukup sekali jika memang apa yang dikatakan Paimin benar. Aku tak perlu lagi cari uang seperti ini, begitu pun Lasmi. Aku sudah lelah kerja sana-sini, toh aku hanya sebagai pesuruh saja bukan pembeli." Sugeng berbicara sendiri.

Dengan diam dan sembunyi-sembunyi, Sugeng mengikuti cara Paimin mengais rejeki. Sugeng menjadi pesuruh orang-orang yang mau membeli togel dengan harga tinggi. Jika nomor togel itu berhasil keluar, maka Sugeng akan mendapat gaji yang lumayan tinggi dari pembelinya.

Rata-rata pembelinya adalah orang-orang kaya yang seharusnya sudah tak perlu lagi mencari uang dengan cara seperti ini. “Tenyata banyak orang kaya penuh gengsi, mencari rejeki agar bisa buat iri. Tak pernah puas dengan apa yang diberi Gusti”. Geming Sugeng dalam hati.

Setelah beraksi Paimin mendapat upah nyali terlebih dulu, satu pembeli memberikan upah sebesar dua puluh ribu rupiah. Selebihnya akan diberi gaji setelah nomer togel berhasil keluar sebagai pemenang.

Dengan riang Sugeng kembali pulang, dia berhasil mendapat seratus lima puluh ribu rupiah dalam satu hari. Lasmi menyiapkan makan malam untuk suaminya. Menunya nasi liwet, ikan asin dan sambal terasi. Makanan tersebut dianggap paling nikmat oleh keduanya.

Saking lelah dan habis tenaganya untuk bekerja seharian, keduanya makan dengan lahap. Sugeng dan Lasmi duduk  berhadapan sembari bercerita kejadian apa saja yang mereka temui dan hadapi sewaktu bekerja.

Sugeng berterus terang dari mana dia mendapat uang sebanyak itu, meskipun Lasmi tidak bisa terima dengan pekerjaan Sugeng sekarang. Tapi Lasmi mencoba mengerti dan memahami kondisi yang dihadapi suami. Lasmi kubur rasa kecewa itu dalam-dalam. Bagaimana pun usaha sang suami harus mendapat puji. Karena siapa yang mau peduli, kalau bukan isterinya sendiri.

"Apapun yang Mas Sugeng kerjakan, Lasmi akan menerima dan mendukungnya. Tapi kalau bisa jangan lakukan itu lagi, Lasmi pegang Janji mas Sugeng,"

"Selain dilarang dan melanggar hukum, Lasmi tidak mau kita berdua menjadi golongan orang-orang yang berputus asa. Orang-orang yang dibutakan jalannya mencari rejeki."

“Iya Las, Mas janji tidak akan pernah melakukan ini lagi. Ini cuma sekali, makanya Mas berharap salah satu nomer yang Mas beli bisa keluar jadi pemenang,"

"Agar Mas mendapat bayaran dan bisa melunasi hutang-hutang kita. Setelah ini selesai, mas akan segera mengakhirinya. Mas sendiri malu, agama yang sudah Mas pelajari jadi tidak ada gunanya."

"Semoga Gusti memberikan yang terbaik, agar kelak kita bisa menjadi golongan orang-orang yang baik.Tak perlu disesali Mas, Gusti Maha Pengampun lagi Maha Mengetahui."

"Amiin ya Robb, jika Tuhan selalu berbelas kasih, Dia tidak akan pernah lupa memberi kasihnya kepada kita semua."

***

Ayam berkokok, Lasmi dan Sugeng memutuskan untuk tidak berangkat kerja hari ini. Mereka ingin istirahat dan menikmati hari. Bercengkrama, memasak makanan yang disukai dengan seadanya. Pasangan suami isteri ini memaku saling memuji.

Siang sekitar pukul 11.00 WIB, rumah Sugeng dan Lasmi disantroni polisi. Suara Paimin terdengar sampai ruang televisi. Karena curiga dari mana suara itu datang menghampiri. Sugeng dan Lasmi keluar rumah.

"Nah, itu dia Pak. Sugeng si bandar togel yang Bapak cari selama ini. Tangkap dia saja Pak, hukum dia dengan seadil-adilnya."

"Selamat siang Pak Sugeng, kami dari kepolisian membawa surat tangkapan sodara atas tuduhan bandar togel."

"Sebentar Pak, mungkin Bapak salah orang. Saya bukan bandar togel, saya seorang buruh gendong di pasar."

"Sebaiknya Bapak jelaskan saja nanti di kantor."

"Maaf Pak, mana bukti yang mengatakn suami saya seorang bandar togel." Sela Lasmi dengan nada tinggi.

"Sodara Paimin sebagai saksinya." Sahut polisi bernama Suparman.

"Kurang ajar kamu Min, kamu khianati aku, ini fitnah... ini fitnah!!!" Teriak Sugeng.

"Tidak ada fitnah, karena semua ini berdasarkan bukti, sudahlah jangan berkelit, kamu patut diadili." Balas Paimin.

"Kamu Min, tega sekali kamu lakukan ini kepadamu suamiku, apa salah suamiku kepadamu." Ucap Lasmi dengan raut muka penuh emosi.

"Sudah sebaiknya kalian jelaskan di kantor saja." Suara polisi tak berseragam.

"Lasmi."

"Mas Sugeng... Mas... Mas Sugeng..." Isak tangis Lasmi membanjiri langkah kepergian Sugeng bersama Polisi.

Semua warga berkerumun menyaksikan penangkapan Sugeng, tak ada satupun yang mencoba menenangkan Lasmi. Semuanya melihat dengan pandangan tajam penuh arti. Kecuali satu tetangga yang memang sangat dekat dengan Lasmi.

“Sabar Mbak, semua ini atas kehendak-Nya, ini merupakan ujian bagi Mbak Lasmi dan suami. Semoga kuat iman dan karena apapun semata-mata untuk menempatkan kalian sebagai makhluk yang dikasihi-Nya”. Sulastri mencoba menenangkan.

***

Malam itu, malam yang dipenuhi dengan kabut tebal. Udara dingin berhasil menembus dinding setiap rumah warga. Suara bledek saling bergemuruh, pertanda akan turun hujan deras. Angin ribut meringkus tumpukan debu dan pasir. Membuatnya berhamburan dan beterbangun.

Dalam malam, Lasmi tetap duduk bersila memanjat doa keselamatan bagi dirinya dan suami. Lasmi takut jika memang akan turun hujan batu menimpa rumahnya. Lasmi mawas diri, dia serahkan hidupnya dengan sepenuh jiwa.

"Kepada siapa lagi saya kembali, kalau bukan kepada-Mu ya Rabbi. Kau yang berhak memberikan sanksi kepadaku. Aku takut kepada-Mu ya Gusti. Saya dan suami adalah pembuat dosa. Ampuni dosa kami. Berika kepada kami keadilan-Mu ditanah ini." Lasmi menangis sesenggukan sampai dia jatuh pingsan, tak ada yang bisa menolong Lasmi. Karena dia dirumah seorang diri.

Sudah cukup lama Lasmi jatuh pingsan, Lasmi terbangun dalam kondisi lunglai karena seharian tak makan. Lasmi bangun dan meminum segelas air putih. Lasmi duduk sambil meratapi apa yang sedang terjadi.

Suara detik jam dinding menemani sunyinya Lasmi, Lasmi melihat cahaya matahari masuk melalui fentilasi. Lasmi teringat dia jatuh pingsan semalam tadi. Dan sekarang dia terbangun tanpa luka sedikitpun yang ada ditubuhnya. Lasmi bergegas keluar rumah.

"Wahai penduduk desa Karang Jati, lihatlah apa yang terjadi! Tak ada luka sedikitpun. Tuhan menyelamatkanku dari tuduhan kalian kepadaku. Bukti Tuhan lebih utama dari pada bukti-bukti kalian, Lihatlah, apa yang akan kalian cari lagi,"

“Apa yang kami alami adalah apa yang kami hadapi, bahkan kalian tetangga yang harusnya peduli tapi justru mencaci setengah mati. Kutukan keramat dan adat yang ada didesa ini, jelas tak terjadi”.

"Tak ada sesaji dirumah kami, aku berdoa larut malam sampai jatuh pingsan. Aku berdoa dengan sepenuh hati, meminta belas kasih sang Gusti. Lihatlah, lihat....!!!"

Suasana desa menjadi hening menyaksikan Lasmi berseru didepan rumahnya, air mata pun tak luput meembanjiri pipinya. Semua warga tertegun berdiri kaku melihat apa yang terjadi. Hukum keramat yang mereka percaya, benar-benar tak terjadi.

Dari kejauhan terdengar suara teriakan memanggil nama Lasmi, semua menjadi semakin bingung, saling memandang dan bertanya-tanya. Lasmi yang mengenal suara itu menjadi semakin tak karuan, rasanya tumpah ruah dan akhirnya menangis lagi.

Tapi lama-lama suara itu semakin dekat, sampai batas penglihatan manusia, mulai muncul Sugeng sedang berlari memanggil-manggil nama Lasmi. Dia berlari menuju arah Lasmi. Lasmi berdiri dan kaget melihat suami bisa kembali.

"Lasmi...."

"Mas Sugeng... Mas Sugeng..."

"Lasmi aku bebas dari tuduhan tersebut, bahkan aku dapat ganti rugi." Lasmi dan Sugeng saling berpelukan dengan erat, melepas bahagia bisa bersama lagi.

"Matur sembah nuwun Gusti... Engkau tunjukkan kepada kami sebenar-benarnya bukti." Doa Lasmi.

"Tadi pagi aku dilepas dari tudahan yang ditujukan Paimin kepadaku, karena aku tidak terbukti menjual togel apalagi berperan sebagai bandarnya. Memang aku pernah membeli, itupun sebagai pesuruh saja, tapi tak ada bukti aku pernah membeli, jadi aku dilepaskan,"

"Justru sekarang polisi yang akan mengangkap perbuatan keji Paimin, dialah bandar togel yang sebenarnya. Dan yang merampok uangku ditengah perjalanan pulang juga anak buah Paimin. Jadi aku bebas dari tahanan dan menuntut balas keadilan. Selain akan dibui dia kutuntut ganti rugi."

Semua warga merasa sangat malu telah menuduh pasangan suami isteri ini, mereka sadar bahwa kebahagian Sugeng dan Lasmi memang sejati. Hidup sederhana dan menikmati apa yang diberi dari Sang Maha Pemberi dengan syukur nikmat. Menjual diri dengan gengsi demi sebuah tendensi, akan mengakibatkan luka hati. Entah persidangan negeri atau akhirat nanti.

~ sampun ~

45 Tahun Kita Bertemu?


Sore itu hujan begitu deras, disertai suara petir menyambar. Tanpa harus menunggu ijin dariku, cahaya kilat menembus celah kelambu jendela kamarku. Aku yang masih nyaman dengan mimpi indahku waktu itu, seketika terhenyak dan kaget. 

Mata masih sukar melek, kepala juga masih sedikit pusing. Aku masih ngantuk, tapi aku sempatkan lihat handphone sebelum aku rajut kembali mimpi manjaku, barang kali ada harapan baru. Kulihat ada dua nomor baru yang tak kukenal siapa pemiliknya masuk sebagai panggilan tak terjawab.

Ada sedikit rasa sesal, tenyata bukan harapan baru yang kutemui dari dalam mimpi itu. Aku mulai kesal sama kasur, dia hanya bisa memberi harapan dan angan tanpa harus menjadikannya nyata. Agak sedikit marah, aku caci kasurku sendiri dengan emosi.

Tidur jadi sangat gerah, seperti ada bara api saja dibawahnya. Sekelebat mimpi tadi masih sembunyi didalam memori. Aku merasa bara api semakin menyala, keringatku mengucur deras. Aku kepanasan dan mulai segan merajut angan.

Aku pikir tidak ada salahnya kirim pesan singkat ke nomor yang tak kukenal tadi. Aku tanyakan saja siapa dan apa maksudnya? Dia membalas dengan seadanya tanpa menyebut nama. Aku mulai bertanya-tanya, tapi lama-lama aku jadi terbiasa.

Selama ini, aku tidak tahu sedang berkirim pesan dengan siapa? Dia mengenalku, dia tahu nama lengkapku dan tentangku. Tapi aku tidak tahu apa-apa soal dia, yang kutahu dia sangat mencintai buku dan ingin bertemu denganku.

Dia bilang sudah 45 tahun yang lalu kita bertemu, ah aku rasa dia hanya ingin mengerjaiku. Setiap hari aku samakan gaya bahasa, kesukaan dan semuanya yang dia bicarakan denganku melalui pesan dengan teman-teman sekelilingku. Tapi tak ada satupun yang menyerupainya.

Aku mulai nyaman bicara dengannya, mungkin karena kita sama-sama penggemar buku atau memang kita pernah bertemu, aku tidak tahu. Aku suka kata-katanya "Tak ada teman sejati, yang sejati hanyalah buku, maka berteman baiklah dengan buku." 

Mungkin ini harapan baruku, tapi dalam wujud yang berbeda. Masih banyak teman yang mau berbagi cerita denganku. Untuk teman baruku, kamu tahu siapa aku, tapi aku tidak tahu siapa kamu? Semoga kita lekas bertemu.

Waktu Yang Pas


Setiap orang bertanya, apa susahnya melakukan ini? Apa susahnya kembali melanjutkan kuliah disana? Tapi kenyataanya aku merasa sangat sulit. Bisakah kita bersikap seperti keluarga yang saling mendukung, agar bisa meraih apa yang kita inginkan bersama.

Kebetulan saja aku sedang menghadapi masalah disana, lingkungan dan sirkum waktunya membuatku sangat lelah dan pusing. Tapi aku sama sekali tak peduli, ini bukan suatu alasan.  Aku cuma ingin memanfaatkan kesempatan dengan sebaik mungkin. Dan kesempatan ini memang yang aku inginkan.

Tapi ya, justru aku merasa sangat beruntung. Alam tahu betul kapan waktu yang tepat memberikan solusi dan jalan baik buatku. Setelah disakiti, aku dibahagiakan olehnya. Sebagai gantinya aku akan disana selama tiga tahun. Meskipun aku harus mengendorkan sesuatu, tak masalah. Aku akan lakukan ini nanti dengan sungguh-sungguh.

Yang sudah lalu, biarlah!!! Melepas sesuatu yang harusnya aku lepas disaat yang pas adalah hal yang melegakan. Menjauh dan tidak menikmati kesedihan lagi merupakan ketenangan jiwa. Aku hanya ingin menyadari, aku sangat berbeda dengan yang lain. Yang tidak mudah mendapatkan apa yang diinginkan. Yang tidak mudah bermanja dengan kesenangan. Selamat tinggal.

Cintaku


Laut yang terhampar luas
Seluas itukah cintaku?
Deburan ombak yang besar
Sebesar itukah cintaku?
Sepoi-sepoi hembusan angin pantai
Sesejuk itukah cintaku?

Paling tidak aku punya cinta
Yang tertata indah di hatiku
Akan bermakna luas seluas samudra
Akan sebesar deburan ombak
Dan akan sesejuk angin pantai
Manakala kau menghampiriku

Pekalongan, 2014

Bayang - Bayang

Aku coba menghitung
Ternyata bukan angka-angka
Aku coba mengeja
Ternyata bukan aksara
Aku coba mengucap
Tapi juga bukan kata-kata

Aku kira dari Timur
Ternyata dari Barat
Yang aku kira dari Utara
Ternyata dari Selatan
Dan aku kira kau berada
Di Timur, Barat, Utara dan Selatan
Ternyata kau ada di Tenggara

Aku memilih ke kanan
Ternyata kau di kiri
Aku toleh ke kiri ke kanan ke atas ke bawah
Tenyata yang aku tangkap
Hanya bayang-bayang

Magelang, 2014

Dibalik Cerita Semak

Adegan antara wanita kedua (Dian) dan pria (Adi)

Teater adalah permainan menarik, seru dan sering membuat adrenalin terpacu, bagaimana tidak? Melalui teater, selain bisa menambah pengalaman. Tetaer bisa mempertemukan kita pada cinta.

Tak perlu meragukan, bahwa mencintai dan dicintai itu ada. Disini aku sedang bercerita mengenai seorang pujangga. Karkater dalam naskah Di Dalam Semak yang kubuat penuh kharisma.


Adegan antara wanira kedua (Dian) dan  pertama (Kinyot)
Naskahnya sudah lebih dulu aku upload, silahkan lihat di sini. Pujangga yang sering menebar senyum penuh makna, karakter yang selalu membuat wanita jatuh cinta. Termasuk dua wanita yang tak jelas siapa namanya.

Yang jelas, kedua wanita ini sangat dekat dan akrab. Keduanya dibuat dilema olehnya. Memang dia tebar senyum kepada siapa saja, tapi tak semua wanita mendengar dia baca puisi ciptaannya.


Teater Embun

Naskah ini kupentaskan pada tanggal 14 Januari 2013, bersama teater Embun dengan semangat membara. Terima kasih teman-teman, semoga pertunjukan yang pernah kita lakuakan ini menambah semangat juang kalian dalam menggapai cita.

Bekisar Merah

Doc : Pribadi


Terlepas dari teori sastra yang tak kumengerti. Karena terlalu rumit buatku jika harus menggunakan metode analisis sama perisis dengan buku yang berisi aturan macam itu. Sekarang aku hanya ingin menulis mengenai dan menanggapi sebuah buku yang baru saja selesai kubaca tadi malam, dengan maksud mencoba menjadi pembaca yang baik, pembaca yang kritis. Jadi silahkan rumuskan sendiri, metode apa yang aku gunakan dalam analisis singkat ini. Tidak masalah buatku, jika ini pun disebut sebagai metode ngawur.

Novel Bekisar Merah karya Ahmad Tohari sudah kubeli sejak dua bulan yang lalu, tapi baru sempat kubaca tadi malam. Jujur, awalnya aku sama sekali tidak mengenali penulis yang pernah mengikuti International Writing Program di Amerika selama tiga bulan ini. Karena hal ini pula, kesukaanku terhadap karya sastra patut dipertanyakan. Betapa bodohnya aku, kenapa aku baru mengenal Ahmad Tohari justru baru-baru ini, sempat menyesal kenapa tak dari dulu.

Seperti ketiban bintang, karena kini aku punya penulis baru yang kusuka. Salah satu penulis hebat dari bangsa ini, penulis yang selalu mengedepankan pengalaman hidup kedesaannya, penulis yang menonjolkan kehidupan rakyat kelas bawah dengan latar alam yang selalu dilukiskan melalui tulisannya, sehingga aku  ingin mendatangi imajinasiku untuk menikmati keeksotisannya.

Waktu aku baca halaman pertama, buku ini mampu membuatku candu, membawaku tenggelam seperti dalam pengaruh ekstesi. Menurutku, halaman demi halaman mempunyai sisi misteri sendiri, yang selalu membuatku  penasaran dengan halaman berikutnya.

Kisah yang terjadi disetiap halaman, membuat cerita sendiri. Membuat memori kembali terisi dan lebih berekspresi. Aku sempat penasaran dengan penulis ini, karena yang dituliskan begitu detail. Ahmad Tohari selalu mendiskripsikan tokoh cerita dengan teliti. Adegan yang terjadi didalamnya pun sering membangkitkan emosi.

Tentang buku ini :

Lasi seorang gadis desa turunan Indo-Jepang yang mempunyai kulit puith, mata indah dan lekuk pipi menawan ketika tersenyum. Ibunya diperkosa oleh bekas tentara Jepang, yang menjanjikan akan bertanggung jawab, tapi justru tak pernah kembali. Ini juga membuat Lasi dan Ibunya sering mendapat cibiran dari warga desa Karangsoga.

Kisah hidupnya yang teramat tragis, membuat Lasi menjadi murung. Setelah dia merawat sang suami selama berbulan-bulan yang lumpuh akibat jatuh sampai sembuh. Lasi harus menelan pil kecewa karena cinta dan setianya kepada suami terkhianati. Darsa menghamili seorang gadis cacat yang bernama Sipah.

Karena sudah tidak kuat lagi menahan emosi, Lasi nekat pergi meninggalkan kampungnya. Di jalan dia bertemu dengan dua sopir truk pengangkut gula yang akan dikirim ke Jakarta. Awalnya Pardi sang sopir dan Sapon sang kenek melarang Lasi untuk ikut. Mereka menyarankan pulang, tapi Lasi ngotot mau ikut. Karena iba dan mengerti kondisi Lasi sedang tersakiti, mereka pun mengizinkannya.

Setelah sampai di Jakarta, Lasi tidak mau diajak pulang malah memilih hidup bersama Bu Lanting, seorang mucikari yang punya banyak relasi. Semua pelanggan Bu Lanting adalah kalangan petinggi yang mempunyai banyak lobi.

Lasi menjadi bekisar dikehidupan megah sang suami kaya di Jakarta. Bekisar adalah sebuatan warga pribumi yang punya wajah blasteran. Lasi abdikan kesetiannya untuk sang suami. Pak Han selalu memberikan dan mencukupi kebutuhan Lasi dengan mewah. Namun seiring dengan berjalannya waktu, Lasi merasa perkawinannya adalah main-main. Lasi merasa sepi dan hampa dengan status isteri yang disandangnya.

Lagi-lagi Lasi harus tersakiti. Tanpa persetujuannya, Pak Han menceraikan Lasi demi kepentingan pribadinya, Lasi diserahkan oleh Bambung, seorang belantik kekuasaan negeri. Bambung menyukai Lasi sejak awal pertemuannya bersama Handarbeni.Kemewahan dan kemegahan kembali Lasi hadapi yang selama ini tak pernah dimengerti, sehingga dia harus terseret pada masalah belantik kekuasaan dalam berurusan dengan penguasa-penguasa negeri.

Ditengah rasa gundah, cemas, kesal, sedih, takut dan bingungnya,  membuat cerita cinta antara Lasi dan Kanjat kembali bersemi. Kanjat seorang perjaka, anak terpandang di desa Karangsoga dan terpelajar yang kini jadi dosen membuktikan cinta sejati. Mereka berdua menikah siri dan kabur menuju Sulawesi.


Perjuangan cinta mereka belum selesai sampai disini, kaki tangan Bambung berhasil menemukan mereka dan menyeret Lasi kembali ke Jakarta. Kanjat tak berhenti, dia terus mencari kemana Lasi dibawa lari. Kanjat yang ditemani Pardi berhasil mengetahui, ternyata Lasi sedang diperiksa di markas polisi. Berkat kegigihan dan cinta Kanjat kepada Lasi dan dibantu oleh seorang pengacara, Lasi berhasil dibebaskan dari tahanan negeri. Akhirnya, Kanjat dan Lasi kembali ke kampung halaman, haribaan yang mulanya menjadi kenangan penuh emosi. Kini justru kisah cinta sejati antara dua sejoli yang terpatri.

Aku Punya Janji

Untukmu Ibu

Yang menjaga dan mengasihiku dari bayi
Sampai aku tumbuh besar begini
Kau banting tulangmu sekuat tenaga
Kau cucurkan keringatmu sepanjang usia

Aku masih saja terus sembunyi
Dibalik ego yang sama sekali tak berarti
Setiap malam kau mengeluh sakit kepala
Tapi aku hanya diam tak bisa apa-apa

Sejauh ini aku belum bisa balas budi
Karena aku harus membayarnya dengan harga tinggi
Setiap malam menetes air mata
Yang selalu muncul menyesak dada

Melihatmu begini aku jadi sering lara hati
Tapi tak apa karena aku punya janji
Kuatlah, hilangkan nestapa
Karena aku ingin membuatmu bahagia

Kajen, 2014

Mengenang Sinarsih

Disebagian universitas atau sekolah tinggi, Proyek Kerja Mahasiswa merupakan ko-kurikuler pendukung yang wajib diambil dan dikerjakan oleh mahasiswa. Dengan tujuan agar mahasiswa mampu menerapkan ilmu yang sudah didapat dikelas kepada masyarakat.

Dalam kesempatan ini mahasiswa dituntut dua hal yaitu; Pertama, belajar mandiri untuk menentukan satu kegiatan yang diminati. Kedua, mendesain suatu kegiatan yang akan ditawarkan kepada masyarakat pengguna dalam bentuk proposal, baik secara kelompok maupun individu.


Nah, mata kuliah ini wajib aku ambil, karena PKM berlaku dikampusku dulu. Singkat cerita, aku membentuk kelompok PKM bersama ketiga temanku, sebetulnya lebih enak individu sih, tapi kelompok sudah terlanjur dibentuk. 


Awalnya kelompok kami ingin menawarkan jasa berupa strategi marketing kepada industri rumahan, dimana sasaran kami adalah pabrik kripik pedes yang lagi digandrungi sama anak muda Yogyakarta waktu itu.



Proposal sempat kami konsultasikan dengan dosen pembimbing PKM, malah sudah disetujui olehnya. Tapi sebelum proposal itu dikirim ke pabrik, banyak saran dari beberapa dosen agar kami mengganti proyek yang akan dikerjakan, menurut mereka proyek kami sangat biasa-biasa saja dan sudah banyak mahasiswa lain melakukan itu.



Setelah kami rapatkan, kami berempat sepakat untuk mengganti proyek kerja dan membuat rumah produksi pertunjukan teater, dengan pertimbangan, mahasiswa angkatan 2010 dikampus kami punya kelompok teater dengan nama teater Embun, dimana saat itu kami berempat juga tergabung didalamnya.


Logo Teater Embun
Kami merasa selain bisa mengeksplorasi kemampuan teater Embun, kami juga bisa mempromosikan kampus dengan cara yang berbeda, yaitu melalui pertunjukan teater di luar kampus. Proyek kerja ini kami sebut sebagai duet apik, karena melibatkan dua kelompok yaitu antara Teater Embun dan LSP sebagai rumah produksinya.



Logo rumah produksi kami berempat "LSP"
"Langit Seni Production" adalah nama rumah produksi yang kami tetapkan. Seiring dengan berjalannya waktu, salah satu teman kami Adhisty terpaksa mundur dari LSP karena sedang menjalani masa cuti kuliah.



Hengkangnya Adhisty dari LSP, membuat kami merekrut teman kami yang lain, namanya Erick, Pada proyek sebelumnya Erick mengalami kebuntuan alias mandeg dan tidak bisa melanjutkan proyek kerjanya karena kendala birokrasi.



Personil kembali menjadi empat orang, LSP diketuai oleh Andien, Ragil sebagai bendahara, Erick sebagai humas menggantikan posisi Adhisty sebelumnya dan aku bertugas sebagai sekertaris. Meskipun secara lembaga Adhisty mengundurkan diri, tapi dia tetap berkerja dan turut serta mengerjakan tugasnya sebagai strategi marketing yang dibawahi oleh Teater Embun.

Segala daya dan upaya kami lakukan demi suksesnya proyek kerja ini. Dari mulai mencari dana, mengatur daftar belanja, pembukuan, koordinasi dengan relasi, meeting dengan tim produksi dan para pemain, mengatur jadwal, pengadaan sarana dan pra sarana bagi tim inti, tim produksi dan para pemain. Dan tentunya masih banyak lagi. Sampai setiap kami rapat, selalu saja ada air mata yang menetes dan keringat yang mengucur karena emosi.


Koran tribun

Ditengah perjalanan kami, ada salah satu media koran yang meliput persiapan pertunjukan teater ini. Rasanya kami sangat senang dan bangga, karena media pun ikut mendukung.



Tepat pada hari Jum'at, tanggal 19 April 2013 di gedung Societet Taman Budaya Yogyakarta, kami dieksekusi oleh rasa cemas dan nervous yang teramat sangat, meskipun ini bukan pertama kalinya kami pentas, tapi ini adalah pentas perdana bagi kami di luar kampus. 



Karena ada beberapa masalah yang tidak terduga, terpaksa kami harus mengundur jam pentas sedikit molor dari jadwal yang sudah ditentukan. Beruntung saat itu penonton mau menunggu pintu gedung sampai terbuka tanpa protes. 



Poster by yunr
Sedikit menambah cemas jika tidak ada penonton yang datang, karena malam itu Yogyakarta diguyur hujan yang cukup deras. Setelah semua masalah bisa kami tangani, tepat pukul 19.45 WIB pintu gedung sudah bisa kami buka, pertunjukan berlangsung tepat pukul 20.00 WIB.


Waktu itu, aku memilih duduk dilantai atas dengan penata cahaya dan dokumentasi, agar aku bisa lebih mudah koordinasi dengan crew apabila terjadi masalah yang tak terduga, tapi aku sangat bersyukur, sampai pertunjukan itu selesai, kami tidak menemukan kendala apapun.



Sekelumit tentang sinarsih :



Adegan Sinarsih (Dian) dengan Basuki (Ragil),
 foto ini diambil saat gladi bersih (doc:Reza)
Sinarsih merupakan judul teater yang kami pentaskan, dimana aku berperan sebagai penulis skenario dan sutradaranya. 

Sinarsih adalah gadis yang memiliki dua sisi kepribadian, dia adalah seorang pembunuh juga seorang penyelamat. Dia membunuh banyak laki-laki karena kisah hidupnya yang buruk dimasa silam. Kebencian dan dendam yang menyelimut dalam hati Sinarsih juga dikarenakan hukum yang tidak adil. Sinarsih geram dengan ketidakadilan hak dan asasi manusia yang menimpa sang ibu dan perempuan lain di kampungnya. 


Flashback adegan  Laila (Dian) dengan Basuki (Ragil), foto ini diambil saat gladi bersih (doc:Reza)
Dia merasa hidupnya akan sia-sia jika kebencian dan dendamnya belum terbalaskan. Dia membunuh laki-laki yang sudah memperkosa perempuan, termasuk ayahnya sendiri yang belakangan dia ketahui sebagai tersangka pemerkosaan sang ibu yang luput dari jeratan hukum sebelum ayahnya menikahi sang ibu. 

Kebencian Sinarsih kepada ayahnya semakin bertambah setelah mengetahui bahwa ayahnya menikahi sang ibu karena kecelakaan, yang mengakibatkannya cacat dan tidak mempunyai kaki, sehingga tidak ada gadis manapun yang mau dipersunting olehnya.


Adegan Mbok Gering (Yeni) dan Tantri (Tami), korban pemerkosaan (doc:Reza)
Disisi lain, Sinarsih menampung para perempuan yang sedang hamil akibat diperkosa dan menjadi yang terbuang. Dia menyelamatkan bayi-bayi yang tidak berdosa dari keinginan sang ibu untuk aborsi.

Adegan Ratih (Kinyot) dengan Kodir (Yasna) (doc:Reza)
Apa yang dirasakan Sinarsih berbanding terbalik dengan apa yang dirasakan Ratih. Ratih adalah teman setia Sinarsih. Dia seorang pekerja seks komersil, yang seluruh hidupnya dia abdikan kepada para lelaki hidung belang untuk memenuhi hasrat seksnya, karena kisah cintanya yang cukup tragis dimasa lampau. Tapi kisah cinta Ratih menjadi drmatis dan romantis ketika Kodir datang sebagai preman pasar berhati mulia.

Sinarsih berpikir setiap kelahiran harus dibalas dengan kematian. Setiap bayi dari perempuan korban pemerkosaan lahir, dia akan menyusun rencana untuk membunuh laki-laki jahanam yang tidak bertanggung jawab memperkosa perempuan tersebut.

Habis selesai pentas, semua crew dan pemain foto dulu (doc:Reza)
Susunan crew dan pemain :

Produksi Langit Seni Production
Ketua : Osela Ekaninda Andini
Sekertaris : Ditya Al Santos
Bendahara : Ragil Wayan
Humas : Erick Novaliga

Sutradara dan Naskah : Ditya Al Santos
Editor Naskah : Ragil Wayan
Artistik : Erick Novaliga
Lighting : Dedi Henri
Musik : Rizky Saleh
Vocal : Mety Ristya, Wiwier Septiani, Lilis Permata
Puisi : Olivia Dilla
Stage Panggung : Jayanti Mitra
Kostum, Make Up : Adhisty Suprihantini, Natalia Desy
Fotografi : Reza Cessario
Mc : Latifah Nur
Ticketing : Yuliah Mekar, Feta Rais, Widya Ningsih

Pemain ;
Elisabeth Dianing sbg Sinarsih dan Laila
Ragil Wayan sbg Basuki
Riscy Kinyot sbg Ratih
Michael Liasna sbg Kodir
Retri Agitami sbg Tantri
Yeni Kartika sbg Mbok Gering
Osela Ekaninda Andini sbg Siam
Kusnadi Saputra sbg Bapaknya Tantri
Ulfa Tri Hayati sbg Ibunya Tantri
Rangga Budi P sbg Penjual Kacang

Pemain pendukung;
Kartika Dias
Titi Maria
Nurdiansyah

Bagiku ini adalah pengalaman yang sangat berkesan, kenangan yang tak pernah bisa kulupakan. Melalui proyek kerja ini aku sudah belajar tentang banyak hal. Melalui tulisan ini, aku ingin kembali bilang, terima kasih atas kerja keras LSP dan Teater Embun. Terima kasih kepada semua orang yang sudah menginspirasiku dan menyemangatiku. Selamat berkarya dan menggapai asa teman-teman semua. Salam.