Suamiku Bukan Bandar Togel


Suara adzan terdengar sampai ke ujung desa, huru hara berubah menjadi sepi. Lasmi seorang wanita muda sedang berdiam diri, mengikuti setiap lafaz seruan Illahi Robbi. Mendoakan suami yang berhasil ditangkap polisi.

Perasaan Lasmi hanyut dalam situasi, Lasmi sudah tak mau lagi buka warung nasi, karena dia tak mau lagi ada caci yang selalu membisiki. "Kenapa manusia tak punya hati, dalam situasi seperti ini, bukan peduli yang kudapat, justru caci maki dari mereka yang kuterima. Apa salah saya Gusti?"

Hidup Lasmi kini mulai teruji, ditengah himpitan ekonomi yang harus mulai mencari nafkah sendiri, Lasmi harus menanggung beban hutang sang suami. Lasmi hanya bisa diam dan menangis dalam heningnya suasana maghrib.

Bukan hanya Lasmi yang kaget, semua penduduk desa bingar. Setelah polisi membawa Sugeng, Lasmi jadi pusat cibiran sana-sini. "Dasar pasangan suami isteri tak tahu diri, tak tahu hukum keramat, pecinta laknat.  Jangan sampai kami semua dapat murka Gusti, karena kamu masih tetap disini,  pergi kamu dari kampung kami, susul suamimu saja sana di kantor polisi."

Tengadah tangan Lasmi seolah tak berarti, tapi dia tetap bertahan dan mengharap belas kasih dari yang Maha Tinggi. "Ya Gusti... Yang memiliki alam semesta dan isinya, yang Maha Melindungi juga Mengasihi. Ampuni dosa mas Sugeng, lindungi dan ringankanlah hukaman yang Engkau timpakan kepadanya di dunia ini, saya pasrah kepada seluruh kehendak-Mu. Tapi saya apa daya jika mas Sugeng harus berlama-lama dalam jeruji besi."

Doa Lasmi terhenti, suara riyuh menghampiri rumah sederhana milik Lasmi. "Ada apa ini, apa yang sedang diributkan orang-orang didepan rumahku?" Lasmi keluar dengan mukenah warna puith yang lamat-lamat menguning karena tumpukan debu yang masih dipakainya.

"Lasmi sebaiknya kau angkat kaki dari rumah ini, kami tak sudi punya tetangga seorang bandar togel!!!" Seru salah satu warga desa Karang Jati.

"Lalu saya harus lari kemana? Saya tidak punya rumah lagi selain tempat ini."

"Teserah, kami tak peduli! Kami tak mau punya tetangga yang setiap hari hidupnya dikejar hutang, kami juga tidak mau punya tetangga seorang penjudi!!! Kami takut tertular."

"Suamiku bukan bandar togel, suamiku bukan penjudi. Masalah hutang yang melanda kami berdua, kalian tak perlu bersuara, itu masalah kami,"

"Yang hutang kami berdua, yang akan melunasi pun juga kami berdua. Kenapa kalian rungsing dengan masalah orang yang tak bisa kalian selesaikan. Kalian juga tidak akan pernah terjerat hutang jika hidup kalian tercukupi."

"Alah... Jangan terlalu banyak alibi. Kalau bukan penjudi, kenapa suamimu bisa jadi tahanan polisi, kamu boleh mencintai suamimu sampai mati, tapi membela sesuatu yang sudah jelas salah itu tak tahu diri!!!" Cela seorang bapak berambut keriting dan berkumis lebat.

"Asal bapak tahu saja, suamiku hanya bekerja sebagai pesuruh, bukan penjudi. Tak perlu sampai mengusirku dan suamiku, toh justru kalianlah para penjudi."

"Jangan asal bicara kamu Las, tidak ada bukti yang mengatakan bahwa kami penjudi." Sahut Paimin, bujang tua yang bekerja sebagai staf kelurahan desa.

"Ah kamu Min, aparat desa tak bermartabat, penjudi sejati yang diselimuti banyak gengsi. Jangan hanya sembunyi dibalik pintu, buru-buru menggerutu biar orang lain tak tahu."

Semua warga terhenyak mendengar pernyataan Lasmi, suasana riyuh dan bising warga seketika berubah menjadi diam dan langsung menatap Paimin.

"Jaga mulutmu Lasmi, jangan lempar kesalahanmu kepadaku!!!" Balas Paimin.

"Apa yang kalian cari dari mengusirku, ini rumahku jadi terserah aku. Tuhan tidak akan membalas perbuatan suamiku kepadamu. Urusan kami dengan Tuhanku biar aku dan suamiku yang menanggung."

"Hati-hati sampean kalau bicara, jangan sampai Tuhan melaknatmu atas dosa suamimu."

"Biar saja, aku sudah pasrah. Jika memang malam ini aku dan suamiku mati, jika memang   hujan batu menimpa rumahku, karena hukum langit terbukti,"

"Aku ikhlas, karena sebenar-benarnya yang berhak memberikan sanksi kepadaku hanya Tuhan, Gusti yang mengadakan siang dan malam tanpa henti. Bukan kalian, sekaliber seorang kyai."

"Lihat Las, mulutmu akan terbukti malam ini."

"Tapi jika aku selamat bagaimana?"

"Akan selamat pula kamu dari tuduhan kami, terserah kamu mau hidup disini sampai kapanpun, kami tak akan risau lagi."

"Baiklah, aku pegang janji kalian. Biar langit yang mencatatnya."

Pertengkaran sengit antara Lasmi dan penduduk desa Karang Jati membawa pada sebuah janji. Janji keramat yang akan membawa mati. Hukum adat sangat lekat bagi penduduk desa. Ibadah keagamaan mereka pun masih kental dengan budaya peninggalan para sesepuh.

Banyak sekali tradisi yang mereka lakukan, upacara sesembahan sampai larung saji. Tak bisa dipungkiri bahwa budaya seperti ini masih sering dikaitkan dengan agama yang dianutnya. Penduduk desa masih peduli dengan hal-hal demikian. Seperti ada garis lurus antara budaya dan agama yang tak terelakkan.

***

Penduduk desa menggunakan akal untuk menghayati sebuah keyakinan dan kitab suci, tanpa menggunakan hati yang sudah mereka terima dari sang Maha Pemberi. Mereka tak mengenal pembaharuan yang marak terjadi, akibatnya banyak dari mereka yang tak mengerti. Tidak selamanya pembaharuan itu salah, meskipun kita wajib berhati-hati.

Lasmi tak pernah mengira akan hidup seperti ini, dia pikir suaminya bekerja sebagai kurir di pasar. Pekerja buruh gendong yang selalu berangkat pagi dan pulang sore hari untuk mencukupi kebutuhan isteri.

Lasmi merasa terhomati dengan uang suci dari Sugeng. Hampir setiap hari Sugeng memberinya uang lima belas ribu rupiah, meskipun sedikit tidak membuat cinta Lasmi padam. Lasmi pun membantu suami mencari uang. Lasmi berjualan nasi didepan rumahnya.

Warung Makan Mbak Lasmi sangat digemari oleh banyak orang, karena lauk pauk yang disuguhkan sangat menarik, enak dan beragam. Tentu dengan harga yang murah meriah pula. Banyak pembeli memuji masakannya.

Meskipun Sugeng seorang buruh gendong, dulunya Sugeng adalah pemuda terkenal dengan kharismanya. Dia adalah seorang santri yang belajar agama dan ilmu pengetahuan di pesantren Asmaul Husna pimpinan Kyai Hanafi, seorang kyai yang banyak dikagumi.

Kursi pemimpin sebagai lurah desa Karang Jati pun pernah menghampiri, tapi Sugeng tolak dengan alasan takut tak bisa memegang amanat. Sugeng tak ingin menjadi pemimpin waktu itu.

Tawaran itu berubah menjadi desakan sana-sini, banyak warga yang mendesak agar Sugeng menerima jabatan tersebut. Lasmi sebagai isteri hanya bisa menyemangati agar suaminya mengambil keputusan tepat.

"Mas, apapun keputusanmu tidak akan merubah cinta dan hormatku kepadamu. Tapi akan lebih bijak jika mas Sugeng memikirkannya terlebih dahulu, sebelum Mas Sugeng menolak mentah-mentah tawaran dari warga."

"Aku merasa tidak sanggup, Las. Aku belum bisa memimpin diriku sendiri, bagaimana aku akan memimpin mereka. Menjadi seorang pemimpin itu tidaklah mudah. Aku saja masih terus berusaha membenahi diri, karena aku juga sudah menjadi pemimpin dirumah ini sekarang."

"Tapi Mas, ilmu yang sudah kamu pelajari selama di pesantren merupakan tanggung jawab yang harus kamu berikan kepada warga juga, kepada desa kita. Jangan kamu pendam sendiri."

"Masih banyak yang pantas menjadi petinggi, tapi bukan aku Lasmi. Bertanggung jawab atas ilmu yang sudah aku terima tidak harus menjadi lurah. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk itu. Mas Sugeng tidak berharap apa-apa, kecuali keutuhan keluarga ini."

"Kalau begitu baiklah, aku tetap mendukungmu Mas."

"Sudah, Mas Sugeng berangkat ke pasar dulu, kamu jaga diri baik-baik dirumah."

Harmoni yang begitu syahdu terpancar dari keluarga sederhana ini, pasangan suami isteri yang belum dikaruniai seorang anak. Sugeng dan Lasmi tak lantas putus asa, mereka selalu berusaha agar bisa mendapatkan momongan. Mereka berdua hidup rukun dan bahagia.

Sugeng menjadi pusat perhatian penduduk desa, banyak sekali yang memuji tapi tak sedikit pula yang mencaci karena benci. Paimin adalah salah satu teman kecil Sugeng sampai sekarang. Hampir setiap hari, hampir disetiap acara yang melibatkan keduanya. Sugeng selalu jadi yang banyak dipuji, sementara Paimin sering dibanding-bandingkan dengannya.

"Lihat itu Sugeng, laki-laki pintar, bertanggung jawab dan sayang terhadap isterinya. Contoh kepala keluarga yang patut dijadikan contoh. Tidak seperti kamu Paimin, bujang tua yang kerjanya cari pelampiasan setiap malam. Penyakit saja isinya." Cletuk seorang ibu sembari menggendong anak balitanya.

Bak disambar bledek, Paimin marah dan semakin benci kepada Sugeng. Tanpa henti Sugeng pun mulai melayangkan aksinya. Paimin sudah tak mau lagi harga dirinya dikecilkan karena Sugeng, yang dianggapnya sebagai laki-laki lemah tak bertenaga karena belum bisa menghamili sang isteri.”

***

Pagi itu, Paimin mendekati Sugeng. Paimin meminta Sugeng menghadiri rapat yang akan diadakannya dirumah pribadi Paimin. Menurut Paimin alasan rapat dengan menggunakan nama desa merupakan cara jitu yang bisa diterima oleh Sugeng.

Pagi berganti senja, puluhan burung emprit bercicuit diatas sarangnya, langit menguning dengan indahnya. Gemercik air sungai mengalir deras. Kerbau, sapi dan ternak lain mulai digiring kembali ke kandang oleh pemiliknya.

Petani dan pembajak sawah mulai beriringan pulang bersama, para isteri menyiapkan hidangan dan suami melahapnya. Silir angin menghembus, dingin mulai meraja lela. Senja berangsur menjadi gelap.

Cahaya temaran dari lampu teplok mulai menyala, satu per satu menutup jendela. Sepi, sunyi, hening suasana malam kala itu. Setapak jalanan mulai dilalui Sugeng. Setelah menempuh perjalanan yang cukup gelap dan tanah becek yang dilaluinya. Akhirnya Sugeng sampai dirumah Paimin.

"Kulo nuwun, Mas Paimin..."

"Oh kamu sudah datanng, ayo-ayo masuk saja."

"Loh kok sepi Mas, mana yang lain? Katanya ada rapat desa."

"Aku sengaja tak mengundang mereka, Geng. Aku hanya ingin berdiskusi denganmu saja. Barang kali kamu bisa memberikan ide dan gagasan baru buat kegiatan yang berguna di desa kita, tapi Geng, panggil aku dengan sebutana nama saja. Toh kita seumuran kan?" Paimin meyakinkan.

"O alah mas... Jika memang seperti itu, kenapa tidak tadi pagi saja pas kita bertemu. Waduh Mas, meskipun mas Paimin satu umuran denganku, tapi mas Paimin seorang staf kelurahan yang harus dihormati dan disegani."

"Kan biar lebih enak ngobrolnya, jadi aku sengaja undang sampean dateng tindak mriki. Walah-walah ndandak ngunu barang, yawislah sakpenakmu wae."

"Baiklah mas, kalau begitu ada apa?"

"Monggo disekecakake penganan lan ombene rumiyen."

"Nggih-nggih mangke kula telaske sedoyo, matur suwun."

Asap rokok kretek mengepul dari mulut Sugeng dan Paimin, keduanya terlibat pembicaraan yang sangat serius. Paimin membicarakan program desa yang akan ditawarkan kepada para penduduk dengan pasti. Sugeng sesekali memberikan saran kepadanya.

Ditengah percakapan, Paimin tak ragu akan gagasan Paimin yang begitu cerdas. Paimin percaya, jika gagasan ini dapat dikerjakan, pasti penduduk desa akan menyangjungnya. Tapi kebencian itu masih ada, Paimin justru semakin benci dan iri. Hatinya mulai tertutup, akalnya bekerja bagaimana cara menghabisinya.

Obrolan berkembang semakin panjang dan lebar, sampai tak sadar sudah tengah malam. Mengingat Lasmi pasti menunggu kepulangannya. Sugeng memutuskan pulang ke rumah. Sugeng pamit pulang membawa uang desa yang diserahkan kepadanya.

Uang tersebut untuk membeli sejumlah karung pupuk, bibit tumbuhan dan pembasmi hama di pasar. Sugeng menerima mandat tersebut. Karena Sugeng merasa hampir setengah waktunya dia habiskan di pasar. Jadi tidak ada salahnya dia ikut membantu Paimin membelanjakan uang tersebut.

Malam yang pekat, dingin yang menusuk kulit membuatnya menggigil dijalan. Sugeng terus berjalan cepat. Suara hewan malam saling bersahutan menggiring langkah Sugeng semakin cepat. Gesekan daun-daun kelapa karena angin pun membuat malam menjadi kian pekat.

Di persimpangan jalan, Sugeng digerogoti apes dan sial. Dia dihadang oleh sekelompok orang menggunakan celurit, uang itu dirampas dengan paksa. Sugeng pun diancam akan dibunuh jika dia berteriak meminta tolong. Sugeng tak bisa berbuat apa-apa. Dia ikhlaskan uangnya dibawa lari oleh para perampok.

***

Dengan segala kebingungan dan takut, Sugeng pulang dengan berlari. Dia gedor pintu dengan tidak hati-hati. Membuat jantung Lasmi berdegup kencang. Sugeng ceritakan musibah yang menimpanya. Kini kesedihan menyelimuti keduanya. Dari mana mereka bisa mencari uang untuk menggantinya dengan jumah yang sangat banyak dalam sehari.

Sugeng tak punya apa-apa lagi, sementara kalung dan cincin Lasmi juga baru saja terjual untuk menutupi cicilan biaya rumah sakitnya yang masih menunggak. Lasmi pernah terserang demam  berdarah, sehingga membutuhkan perawatan yang cukup intensif.

Sugeng dan Lasmi saling bertatapan, ada kebingungan dan luka yang mendalam disetiap pancaran keduanya. Mereka berdua terus berpikir dan berpikir sampai pagi menjelang. Suasana begitu sangat menegangkan.

Keesokan harinya Sugeng dan Lasmi memutuskan mengambil pinjaman di Koperasi Simpan Pinjam atau lebih akrab dengan sebutan Bank tongol. Kebanyakan orang bilang koperasi jenis ini hanya membuat masalah menjadi semakin bermasalah.


Koperasi Simpan Pinjam yang marak dikalangan masyarakat kelas menengah dan bawah ini, merupakan jenis koperasi yang tidak memiliki ijin usaha koperasi. Pun jika jenis koperasi ini masih beroperasi, biasanya koperasi tersebut mengantongi ijin usaha yang tidak berlaku atau ilegal. Bisa saja ada campur tangan oknum didalamnya.

Suku bunga yang dipatok kepada peminjam pun menacapai 30% sampai 40% dari nominal yang dipinjam. Ini melibihi suku bunga yang ada di Bank resmi.Tentu koperasi ini menyalahi ketentuan undang-undang perkoperasian yang berlaku.

Biasanya mereka menawarkan pinjaman dengan cicilan rendah, jumlah yang harus mereka bayar mencapai lima ribu per-hari sampai seratus lima puluh ribu per-minggu. Padahal kalau dihitung-hitung mencapai suku bunga yang tinggi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomer 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi, badan hukum koperasi hanya diperbolehkan kepada para anggotanya saja. Tapi yang terjadi koperasi ini memiberikan pinjaman kepada semua masyarakat tanpa harus menjadi anggotanya terlebih dahulu

Ironisnya banyak orang awam menggunakan cara tersebut untuk menutupi kekurangan atau menambah modal usahanya, karena tak dapat dipungkiri dari mana lagi mereka bisa terus melanjutkan hidup yang serba mahal ini.

Siapa yang tahu, nasib Sugeng dan Lasmi kini berubah. Mereka berdua terjerat hutang piutang. Penghasilan keduanya pun jika digabungkan belum bisa mencukupi biaya hidupnya sehari-hari apalagi untuk membayar cicilan hutang. 

Sugeng dan Lasmi harus memulai kerja ekstra, Sugeng jadi jarang pulang. Dia perpanjang waktu kerjanya sampai pagi ketemu pagi. Begitupun Lasmi, pagi dia berjualan nasi, sementara malamnya dia membantu jaga toko obat milik tetangganya.

Memang susah mencari tetangga yang baik, yang tidak pernah peduli mengurusi persoalan suami isteri yang lain. Apa yang sebenarnya dalam ajaran agama memang tak sebenarnya apa yang manusia amalkan di dunia. Banyak yang begitu.

Mereka mengaku sebagai jamaah yang taat, mereka dekat dengan Tuhannya. Tapi hubungan mereka dengan manusia lain saling adu gengsi. Sekecil apapun masalah yang dihadapi, akan menjadi lubang yang akan terus digali.

Hutang yang menjerat Sugeng dan Lasmi terdengar sampai pelosok desa. Mereka kini jadi perbincangan hangat yang sering digunjingkan orang-orang. Lasmi sudah mendengar kabar itu, tapi dia tak mau ambil pusing dan peduli.

"Toh kalaupun aku ceritakan masalah yang sesungguhnya. Apa mereka mau menerima? Apalagi ini menyangkut soal uang. Mereka tidak akan peduli, justru caci maki dari mereka yang aku terima setiap hari. Ini tetap akan menjadi omongan sana-sini!" Keluh Lasmi kepada suami.

Semakin hari kondisi keuangan Sugeng dan Lasmi tak terkendali. Sugeng pun mulai mendapat tawaran sebagai penjual togel, dengan iming-iming keuntungan yang besar. Tawaran tersebut datang dari Paimin. Awalnya Sugeng menolak, karena pernah mendengar kabar bahwa polisi sering megadakan operasi. Tapi Paimin lagi dan lagi mulai mendesaknya.

Togel merupakan jenis permainan yang bisa membuat banyak orang mabuk kepayang, senang karena menguntungkan, tapi tak jarang sangat merugikan. Permainan ini sempat mendapat ijin pemerintah pada tahun 1986.

Meskipun pemerintah sudah menutup dan menyatakan larangan permainan ini pada awal tahun 1990, masih banyak kalangan yang menggunakan cara ini mencari pundi-pundi rejeki. Permainan ini dilakukan secara sembunyi dan hati-hati. Tapi pengelolaannya dilakukan secara modern dan tersebar sampai kepenjuru negeri.

Satu kupon togel berharga seribu rupiah, setiap kupon hanya bisa diisi dengan satu bilangan, yang teridri dari; dua angka, tiga angka bahkan empat angka. Jika pemain atau pembeli berhasil menebak nomer yang keluar, maka mereka akan mendapatkan hadiah dengan ketentuan sesuai dengan jumlah nomer tebakan yang dipasang.

"Ah aku coba saja sekali, cukup sekali jika memang apa yang dikatakan Paimin benar. Aku tak perlu lagi cari uang seperti ini, begitu pun Lasmi. Aku sudah lelah kerja sana-sini, toh aku hanya sebagai pesuruh saja bukan pembeli." Sugeng berbicara sendiri.

Dengan diam dan sembunyi-sembunyi, Sugeng mengikuti cara Paimin mengais rejeki. Sugeng menjadi pesuruh orang-orang yang mau membeli togel dengan harga tinggi. Jika nomor togel itu berhasil keluar, maka Sugeng akan mendapat gaji yang lumayan tinggi dari pembelinya.

Rata-rata pembelinya adalah orang-orang kaya yang seharusnya sudah tak perlu lagi mencari uang dengan cara seperti ini. “Tenyata banyak orang kaya penuh gengsi, mencari rejeki agar bisa buat iri. Tak pernah puas dengan apa yang diberi Gusti”. Geming Sugeng dalam hati.

Setelah beraksi Paimin mendapat upah nyali terlebih dulu, satu pembeli memberikan upah sebesar dua puluh ribu rupiah. Selebihnya akan diberi gaji setelah nomer togel berhasil keluar sebagai pemenang.

Dengan riang Sugeng kembali pulang, dia berhasil mendapat seratus lima puluh ribu rupiah dalam satu hari. Lasmi menyiapkan makan malam untuk suaminya. Menunya nasi liwet, ikan asin dan sambal terasi. Makanan tersebut dianggap paling nikmat oleh keduanya.

Saking lelah dan habis tenaganya untuk bekerja seharian, keduanya makan dengan lahap. Sugeng dan Lasmi duduk  berhadapan sembari bercerita kejadian apa saja yang mereka temui dan hadapi sewaktu bekerja.

Sugeng berterus terang dari mana dia mendapat uang sebanyak itu, meskipun Lasmi tidak bisa terima dengan pekerjaan Sugeng sekarang. Tapi Lasmi mencoba mengerti dan memahami kondisi yang dihadapi suami. Lasmi kubur rasa kecewa itu dalam-dalam. Bagaimana pun usaha sang suami harus mendapat puji. Karena siapa yang mau peduli, kalau bukan isterinya sendiri.

"Apapun yang Mas Sugeng kerjakan, Lasmi akan menerima dan mendukungnya. Tapi kalau bisa jangan lakukan itu lagi, Lasmi pegang Janji mas Sugeng,"

"Selain dilarang dan melanggar hukum, Lasmi tidak mau kita berdua menjadi golongan orang-orang yang berputus asa. Orang-orang yang dibutakan jalannya mencari rejeki."

“Iya Las, Mas janji tidak akan pernah melakukan ini lagi. Ini cuma sekali, makanya Mas berharap salah satu nomer yang Mas beli bisa keluar jadi pemenang,"

"Agar Mas mendapat bayaran dan bisa melunasi hutang-hutang kita. Setelah ini selesai, mas akan segera mengakhirinya. Mas sendiri malu, agama yang sudah Mas pelajari jadi tidak ada gunanya."

"Semoga Gusti memberikan yang terbaik, agar kelak kita bisa menjadi golongan orang-orang yang baik.Tak perlu disesali Mas, Gusti Maha Pengampun lagi Maha Mengetahui."

"Amiin ya Robb, jika Tuhan selalu berbelas kasih, Dia tidak akan pernah lupa memberi kasihnya kepada kita semua."

***

Ayam berkokok, Lasmi dan Sugeng memutuskan untuk tidak berangkat kerja hari ini. Mereka ingin istirahat dan menikmati hari. Bercengkrama, memasak makanan yang disukai dengan seadanya. Pasangan suami isteri ini memaku saling memuji.

Siang sekitar pukul 11.00 WIB, rumah Sugeng dan Lasmi disantroni polisi. Suara Paimin terdengar sampai ruang televisi. Karena curiga dari mana suara itu datang menghampiri. Sugeng dan Lasmi keluar rumah.

"Nah, itu dia Pak. Sugeng si bandar togel yang Bapak cari selama ini. Tangkap dia saja Pak, hukum dia dengan seadil-adilnya."

"Selamat siang Pak Sugeng, kami dari kepolisian membawa surat tangkapan sodara atas tuduhan bandar togel."

"Sebentar Pak, mungkin Bapak salah orang. Saya bukan bandar togel, saya seorang buruh gendong di pasar."

"Sebaiknya Bapak jelaskan saja nanti di kantor."

"Maaf Pak, mana bukti yang mengatakn suami saya seorang bandar togel." Sela Lasmi dengan nada tinggi.

"Sodara Paimin sebagai saksinya." Sahut polisi bernama Suparman.

"Kurang ajar kamu Min, kamu khianati aku, ini fitnah... ini fitnah!!!" Teriak Sugeng.

"Tidak ada fitnah, karena semua ini berdasarkan bukti, sudahlah jangan berkelit, kamu patut diadili." Balas Paimin.

"Kamu Min, tega sekali kamu lakukan ini kepadamu suamiku, apa salah suamiku kepadamu." Ucap Lasmi dengan raut muka penuh emosi.

"Sudah sebaiknya kalian jelaskan di kantor saja." Suara polisi tak berseragam.

"Lasmi."

"Mas Sugeng... Mas... Mas Sugeng..." Isak tangis Lasmi membanjiri langkah kepergian Sugeng bersama Polisi.

Semua warga berkerumun menyaksikan penangkapan Sugeng, tak ada satupun yang mencoba menenangkan Lasmi. Semuanya melihat dengan pandangan tajam penuh arti. Kecuali satu tetangga yang memang sangat dekat dengan Lasmi.

“Sabar Mbak, semua ini atas kehendak-Nya, ini merupakan ujian bagi Mbak Lasmi dan suami. Semoga kuat iman dan karena apapun semata-mata untuk menempatkan kalian sebagai makhluk yang dikasihi-Nya”. Sulastri mencoba menenangkan.

***

Malam itu, malam yang dipenuhi dengan kabut tebal. Udara dingin berhasil menembus dinding setiap rumah warga. Suara bledek saling bergemuruh, pertanda akan turun hujan deras. Angin ribut meringkus tumpukan debu dan pasir. Membuatnya berhamburan dan beterbangun.

Dalam malam, Lasmi tetap duduk bersila memanjat doa keselamatan bagi dirinya dan suami. Lasmi takut jika memang akan turun hujan batu menimpa rumahnya. Lasmi mawas diri, dia serahkan hidupnya dengan sepenuh jiwa.

"Kepada siapa lagi saya kembali, kalau bukan kepada-Mu ya Rabbi. Kau yang berhak memberikan sanksi kepadaku. Aku takut kepada-Mu ya Gusti. Saya dan suami adalah pembuat dosa. Ampuni dosa kami. Berika kepada kami keadilan-Mu ditanah ini." Lasmi menangis sesenggukan sampai dia jatuh pingsan, tak ada yang bisa menolong Lasmi. Karena dia dirumah seorang diri.

Sudah cukup lama Lasmi jatuh pingsan, Lasmi terbangun dalam kondisi lunglai karena seharian tak makan. Lasmi bangun dan meminum segelas air putih. Lasmi duduk sambil meratapi apa yang sedang terjadi.

Suara detik jam dinding menemani sunyinya Lasmi, Lasmi melihat cahaya matahari masuk melalui fentilasi. Lasmi teringat dia jatuh pingsan semalam tadi. Dan sekarang dia terbangun tanpa luka sedikitpun yang ada ditubuhnya. Lasmi bergegas keluar rumah.

"Wahai penduduk desa Karang Jati, lihatlah apa yang terjadi! Tak ada luka sedikitpun. Tuhan menyelamatkanku dari tuduhan kalian kepadaku. Bukti Tuhan lebih utama dari pada bukti-bukti kalian, Lihatlah, apa yang akan kalian cari lagi,"

“Apa yang kami alami adalah apa yang kami hadapi, bahkan kalian tetangga yang harusnya peduli tapi justru mencaci setengah mati. Kutukan keramat dan adat yang ada didesa ini, jelas tak terjadi”.

"Tak ada sesaji dirumah kami, aku berdoa larut malam sampai jatuh pingsan. Aku berdoa dengan sepenuh hati, meminta belas kasih sang Gusti. Lihatlah, lihat....!!!"

Suasana desa menjadi hening menyaksikan Lasmi berseru didepan rumahnya, air mata pun tak luput meembanjiri pipinya. Semua warga tertegun berdiri kaku melihat apa yang terjadi. Hukum keramat yang mereka percaya, benar-benar tak terjadi.

Dari kejauhan terdengar suara teriakan memanggil nama Lasmi, semua menjadi semakin bingung, saling memandang dan bertanya-tanya. Lasmi yang mengenal suara itu menjadi semakin tak karuan, rasanya tumpah ruah dan akhirnya menangis lagi.

Tapi lama-lama suara itu semakin dekat, sampai batas penglihatan manusia, mulai muncul Sugeng sedang berlari memanggil-manggil nama Lasmi. Dia berlari menuju arah Lasmi. Lasmi berdiri dan kaget melihat suami bisa kembali.

"Lasmi...."

"Mas Sugeng... Mas Sugeng..."

"Lasmi aku bebas dari tuduhan tersebut, bahkan aku dapat ganti rugi." Lasmi dan Sugeng saling berpelukan dengan erat, melepas bahagia bisa bersama lagi.

"Matur sembah nuwun Gusti... Engkau tunjukkan kepada kami sebenar-benarnya bukti." Doa Lasmi.

"Tadi pagi aku dilepas dari tudahan yang ditujukan Paimin kepadaku, karena aku tidak terbukti menjual togel apalagi berperan sebagai bandarnya. Memang aku pernah membeli, itupun sebagai pesuruh saja, tapi tak ada bukti aku pernah membeli, jadi aku dilepaskan,"

"Justru sekarang polisi yang akan mengangkap perbuatan keji Paimin, dialah bandar togel yang sebenarnya. Dan yang merampok uangku ditengah perjalanan pulang juga anak buah Paimin. Jadi aku bebas dari tahanan dan menuntut balas keadilan. Selain akan dibui dia kutuntut ganti rugi."

Semua warga merasa sangat malu telah menuduh pasangan suami isteri ini, mereka sadar bahwa kebahagian Sugeng dan Lasmi memang sejati. Hidup sederhana dan menikmati apa yang diberi dari Sang Maha Pemberi dengan syukur nikmat. Menjual diri dengan gengsi demi sebuah tendensi, akan mengakibatkan luka hati. Entah persidangan negeri atau akhirat nanti.

~ sampun ~

0 comments:

Post a Comment