Kembali Lagi


Cinta hadir bukan untuk membuat manusia gundah
Cinta hadir bukan untuk membuat manusia gelisah
Cinta hadir bukan untuk membuat manusia resah
Cinta hadir bukan untuk membuat manusia sedih
Cinta hadir bukan untuk membuat manusia marah

Dia datang bukan untuk kebohongan
Dia datang bukan untuk kepalsuan
Dia datang bukan untuk mengecewakan
Dia datang bukan untuk keputusasaan
Dia datang bukan untuk kemunafikan

Banyak orang ngomong, terserah aku tak peduli
Aku ingin menikmatinya kembali
Bahwa cinta kini telah bersemi
Seperti sedia kala hingga selamanya nanti
Kepada kita berdua yang tak ragu lagi

Lamunan


Aku tak mampu mengucap kalimat penuh makna
Aku melihat serupa elok nun jauh disana
Aku mendengar senada merdu meluluhkan jiwa
Aku merasa ada sentuhan tak berasa
Didalam lamunan, aku masih yakin kepada CINTA

Pekalongan, 2014

Patah Hati Karena Teman


Jujur aku merasa sangat terpukul dengan setiap kata tertulis yang kamu berikan kepadaku. Aku sakit hati dengan tingkahmu, ada sedikit benci dan ada rasa tidak suka tentang dirimu dihatiku. Sebut saja aku gagal meredam emosi. Amarah membakar diamku.

Aku terima hujatmu, tapi aku tidak terima caramu menghujatku. Aku tidak tahu, apa yang sedang terjadi denganmu waktu itu. Kamu terlalu cepat memusuhiku. Aku tidak mengatakan kamu salah, aku benar atau sebaliknya. Tidak ada yang salah, karena waktu adalah sumber dari segala jawaban.

Dari awal kamu memilih pergi, kemudian kamu kembali. Dan sekarang kamu berlaku seperti peminum air kencingmu sendiri. Itu semua hanya persoalan waktu. Waktu menjelaskan kepadaku betapa egoisnya dirimu. Sekarang aku merasa lega, lega melepas setiap kata yang terjaga. Lega melepas pertemanan kita.

Sincerely

Me. 

Kahlil Gibran

Kahlil Gibran lahir pada tanggal 6 Desember 1883 di Bisharri, sebuah kota kecil di Lebanon Utara. Kota tersebut terletak di kaki pegunungan yang dianggap suci. Kahlil Gibran hidup ditengah keluarga miskin dan penganut agama Kristen Maronit. Suatu mazhab yang ada di Timur Tengah. Ayahnya seorang yang gagah dan tegar tetapi pecandu arak dan judi sehingga membuat kehidupan keluarganya terhimpit dalam kesempitan. Ibunya bernama Kamila Rahmi, anak dari seorang pendeta gereja Maronit yang bernama Istifan Rahmi. Gibran mempunyai satu suadara dari pernikahan ibunya terdahulu, yaitu Boutros. Sementara dari Ayahnya ia mempunyai dua adik, yaitu Mariana, dan Sultana.

Selama di Lebanon, kehidupan ekonomi keluarga Gibran tak berkembang. Akhirnya mereka memutuskan hijrah ke Amerika. Mereka tiba di Boston pada tahun 1894, meskipun keputusan hijrah tak membuat kehidupan ekonomi keluarga Gibran membaik. Talenta dan bakat Gibran dalam kesusasteraan dan melukis meluai menonjol sejak ia duduk dibangku sekolah selama di Boston pada tahun 1895 sampai 1897. Pada tahun 1896-1901 Gibran memutuskan untuk kembali pulang ke negara kelahirannya untuk bersekolah di Madrasah al-Hikmah, Beirut. Lulus dengan predikat terpuji, Gibran menggunakan ilmu dan bakat sastranya mengembara ke Yunani, Italia, Spanyol, dan akhirnya menetap di Paris untuk belajar seni lebih dalam lagi. Di sinilah ia bertemu dengan seorang pematung ternama yang memiliki pengaruh kuat dalam diri Gibran dalam berkesenian, yaitu Augeste Rodin.

Setelah mendengar kabar bahwa ibunya sedang sakit keras, Gibran kembali ke Boston pada 1902. Ibunya meninggal pada 28 Juni 1903, sebelumnya adik Gibran yang bernama Sultana sudah terlebih dulu meninggal pada 4 April 1902, dan kakaknya, Boutros pada 12 Maret 1903. Kesedihan yang begitu mendalam karena orang-orang yang sangat ia cintai ini begitu terlihat jelas dalam karya-karya yang ditulisnya.

Gibran hidup dalam ranah dua kutub budaya yang sangat berbeda, yaitu antara Timur dan Barat, namun ia justru memilih menjadi seorang yang kosmopolit yang tak terikat oleh kebangsaan dan kebudayaan tertentu. Gibran terikat pada perjuangan hak dan martabat manusia tanpa memandang batas bangsa dan budaya manapun. Seperti yang tertulis pada karyanya Suara Penyair. “Jagad adalah negeriku dan keluarga manusia sukuku,” (Pustaka Jaya, 1988).

Tak banyak orang tahu bahwa sesungguhnya Gibran adalah seorang pelopor reformasi sosial. Melalui berbagai macam karya tulisannya yang mengandung kritik sosial. Dampaknya terlihat nyata pada perubahan yang terjadi di negerinya Lebanon. Bukti tajam karya Gibran terhadap kalangan gereja adalah dibakarnya karya Spirit Rebellious, didepan keramaian dan kerumunan orang-orang di pasar Beirut dan dijatuhkannya hukuman ekskomunikasi kepada Gibran dari pimpinan gereja Maronit. Ini juga membuktikan bahwa Gibran memiliki jiwa berontak terhadap ketidakadilan dan kemunafikan.

Gibran mencecar habis kaum agamawan dan pihak gereja. Untuk apa gereja dibangun dengan megah jika para penganutnya berada dalam kemiskinan yang berkepanjangan? Mengapa para pendeta bisa hidup enak dan makan roti segar yang mengenyangkan dan minum anggur yang begitu lezat sementara para penganutnya selama seharian banting tulang memeras keringat untuk sekedar bertahan hidup! Dengan gaya bahasa yang tepat dan mencekik, Gibran bertanya kepada biarawan melalui karyanya “Kahlil Si Murtad” dalam Spirit Rebellious, yang bunyinya: “Jesus telah mengutus kalian sebagai domba di tengah serigala; lantas apa yang menjadikan kalian ibarat serigala di antara domba-domba.”

Hidup Gibran menjadi semakin tragis karena kisah cintanya dengan dua wanita, pertama Mary Haskell dan kedua May Ziadah. Mary Haskell adalah wanita kelahiran Amerika yang sepuluh tahun lebih tua darinya, namun Mary Haskell mampu mempengaruhi perkembangan Gibran dalam berkarya. Ia juga satu-satunya wanita yang pernah dipinang Gibran secara resmi namun menolak karena pelbagai macam pertimbangan. Sedangkan May Ziadah adalah pekerja seni dan sastra dari Arab kelahiran Nazareth tahun 1908 yang menjalin hubungan cintanya dengan surat-menyurat sampai Gibran menutup mata.

Kehidupan cinta antara Gibran dan May menjadi sangat dramatis dengan berbagai buku yang isinya kumpulan surat-surat keduanya. Bukankah ini yang disebut cinta, kisah cinta yang sangat menakjubkan karena keduanya belum pernah sekalipun bertemu muka dan mengetahui bagaimana bentuk rupa dan wajah satu sama lain.

Sumber Naskah; Susanto, Ready, Seratus Tokoh Abad Ke-20. Nuansa: Cet II, 2008
Pro dan kontra sudah menjadi hal yang lumrah dalam pesta demokrasi yang akan diselenggarakan sebentar lagi. Nama Jokowi pun menjadi sering disebut-sebut oleh para pengguna twitter. Banyak dari mereka menulis aspirasinya mengenai pencalonan pria kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961 ini sebagai capres 2014 nanti.

Joko Widodo diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Tak bisa dipungkiri bahwa twitter merupakan jejaring sosial yang banyak digandrungi oleh semua kalangan modern sekarang ini. Ada yang menyambut baik, ada pula yang menyambut dengan berbagai pesan, usul dan ungkapan kecewa. Berikut komentar mereka;



Dua komentar diatas merupakan bentuk dukungan agar Jokowi mampu keluar jadi pemenang dalam pilpres nanti. Tapi ada juga yang menanggapinya dengan sedikit bumbu komedi, bunyinya seperti ini;



Jokowi dikenal sebagai seorang pemimpin dengan keuletan dan kesederhanaannya. Segudang penghargaan personal dan kota Solo di masa kepemiminannya pun pernah dia torehkan selama menjabat sebagai walikota Solo dalam dua periode, salah satunya sebagai walikota teladan dari Kementrian Dalam Negeri pada tahun 2011 dan penghargaan untuk program perlindungan anak dari Unicef pada tahun 2006.

Setelah berhasil memimpin Solo dengan baik, Jokowi melenggang menjadi gubernur DKI bersama pasangannya Basuki Tjahja Purnama atau lebih dikenal dengan sebutan Ahok. Saat itu keduanya berkendara dengan partai politik yang berbeda, jika Jokowi berkendara dengan PDIP, Ahok berkendara dengan Gerindra.

Belum selesai tugasnya sebagai seorang gubernur, kini Jokowi didapuk oleh PDIP sebagai capres. Keputusan ini pun membuat semua pengguna twitter bercicuit mengungkapkan protesnya. Berikut cicuit mereka;



Memang begitu banyak aspirasi masyarakat pengguna twitter yang beragam mengenai keputusan Jokowi, tapi ini semua merupakan bagian dari demokrasi yang sebenarnya. Pro dan kontra adalah wujud masyarakat meramaikan dan ikut serta menyuarakan pendapat dalam pemilu presiden kali ini.

Siapapun yang menjadi jagoannya dan apapun hasilnya nanti, mari sebagai masyarakat penganut demokrasi. Kita ciptakan pemilu yang adil dan bersih. Semoga Indonesia dipimpin oleh seorang pemimpin yang jujur dan bijaksana, agar bangsa ini mampu menjadi macan asia kembali.

Kelabu


Terik panas matahari begitu menyengat. Asap knalpot ngebul dari kendaraan roda dua sampai roda empat. Pedagang asongan menambah suasana semakin gaduh dan riyuh. Pengamen jalanan nenteng gitar kesana kemari. Kala itu tampak begitu jelas betapa meriahnya jalanan ibukota dengan segala keruwetannya. Tua muda saling menikung, saling serempet satu sama lain. Tak kenal senyuman melainkan ketegangan dan kepura-puraan. 

Secarik kertas dia simpan dalam kantung celana jeans biru yang diambilnya dari jemuran tetangga. Kertas itu bertuliskan puisi sebagai modal hidupnya untuk membeli makan. Begitu seterusnya sampai dia dapat mengumpulkan uang untuk mencari tempat tinggal yang baru.

Andai saja mereka tak memilih lari, andai saja mereka mau menghadapi, mungkin kehidupannya tak kan seperti ini. Merasa diasingkan keluarga karena kasus penipuan dan pelarian sejumlah uang yang dilakukannya. Merasa bapak, ibu dan saudara kandungnya mengutuk segala perbuatannya. 

“Ketika aku dalam kondisi down, aku membutuhkan sosok orang tua yang mau mengayomi dan melindungi, tapi aku diusir dan disuruh pergi.” Pernyataan kolot yang tak mau mencoba memahami diri sendiri. Betapa menyusahkannya seorang anak terhadap kedua orang tuanya yang sudah mulai menua.

Semasa kecil dia diberi kehidupan yang enak, maklum kedua orang tuanya termasuk orang berada. Semasa kuliah dia diberi penghidupan yang layak di kota seberang oleh kedua orang tuanya, sebagai balasannya dia tak mau belajar serius dan memilih pesta pora sepanjang hari. 

Dia habiskan kiriman uang bapak dan ibunya untuk menikmati hari dengan segala macam yang terkini. Sungguh anak yang tak mau balas budi!!! Sungguh disesalkan, kenapa sampai detik ini dia masih tidak mengerti kondisi. Kondisi bahwa sesungguhnya orang ini sama sekali tak punya nurani. Kondisi yang mengenalkannya kepada seoarang wanita yang kemudian diperisteri. Wanita yang mempunyai sifat sama, sama-sama tak punya hati.

Setelah menikah, mereka tinggal di sebuah rumah yang sudah disediakan peralatan rumah tangga oleh kedua orang tuanya. Keduanya diberi jabatan disebuah pabrik es, tapi tak belangsung lama karena kasus korupsi yang dilakukan keduanya. Bisnis yang dijalaninya pun mandeg karena mereka tak bisa dipercaya. Jalan hidupnya tak bisa masuk diakal, yang dilakukan terus-terusan ditaburi bumbu-bumbu nakal.

Banyak kasus yang bermasalah dengan hukum, tapi dia memilih lari dan pergi. Dia tinggalkan orang-orang yang sudah kena tipu, tanpa berpikir bahwa mereka akan menemui sang ibu. Bagaimana orang tua tak menjerit kesakitan, mendengar anaknya selalu saja membuat masalah dan onar. 

Masalah hukum, hutang piutang dan penipuan yang dilakukannya. Orang tua bisa berbuat apa lagi! Berdoa sepanjang hari, tak membuatnya mawas diri. Bapak dan ibunya hanya bisa berdiam diri selama disantroni para polisi. Mau digeledah sepanjang hari pun tak akan bisa menemukan sepasang suami isteri ini. Bapak dan ibunya saja tidak tahu kemana mereka pergi. 

“Kami sadar bahwa anak kami salah, hukum saja dengan seadil-adilnya. Tapi mereka tak sembunyi didalam rumah ini. Jika kami harus menebus kesalahannya, kami tidak sanggup secara materi.” Ibunya pasrah.

Mereka berhasil lari sampai DKI, bertemu berpasang-pasang muka pelaku korupsi. Hari demi hari dilalui dengan sedikit sisa nyali. Mencuri, mengarang cerita dan membaca puisi mereka lakukan demi perut terisi. Bukan suatu perenungan, bukan pula penyebab instropeksi. 

Mulut dan hati malah semakin mencaci maki kondisi tiada henti. Semua kejadian tidak membuat keduanya berhenti, melainkan menanam benci. Benci yang tak pantas mereka rasakan, karena kepada siapa kalau bukan kepada mereka sendiri!

Tak disadari mereka berhasil mengumpulkan pundi-pundi tuk kembali, dengan modal berani mereka menemui bapak dan ibunya. Sang bapak menyarankan agar tetap disini, merajut bisnis kembali. Keesokan harinya mereka yang justru tak berani dan memilih lari dan pergi. Sudah diberi hati, mereka lagi-lagi cari sensasi. 

Lelah mengurusi apa kehendak mereka, marah melihat ulah mereka, kesal menyaksikkan betapa kerdilnya anak mereka. Hidupnya dibuat susah sendiri, jadi mafia kok nanggung. “Aku bisa kaya meski harus masuk penjara terlebih dulu, tapi aku tak sudi. Nanti keponakanku yang akan bahagia, wong aku gak punya anak kok.” Tanpa sadar dan kendali, isi hati mulai terdengar. 

Jelas mengapa dia hidup seperti ini, sebagai pengobral janji yang lebih banyak mengelabui. Mungkin sekarang dia berhasil lari, tapi apa tidak terpikirkan kalau suatu saat nanti kebenaran akan terungkap. Sepandai-pandai orang berbohong, suatu saat akan tercium aroma kebohongan dan tipu muslihatnya, jadi berhati-hati saja.

Kini pasangan suami isteri itu hidup bersama disebuah rumah sederhana hasil penjualan rumah kedua orang tuanya. Bapaknya meninggal sudah dua tahun lamanya. Ibunya memilih tidak tinggal bersamanya. Isterinya hanya bisa menyediakan makanan basi karena mulutnya tak pernah mau sadar diri. 

Obral omongan kesana kemari. Tak perlu menjadi orang yang baik hati, karena kejahatan yang dilakukannya pun tak ada hasilnya. Semuanya terasa sangat percuma. Mungkin hanya mati yang bisa mengobati segala luka yang terpatri.

Cucu Kakek


"Aku ditelantarkan seperti gembel yang biasa tidur di emperan toko." Gerutu kakek tua. Tulang kakinya keropos, tapi dia selalu ingin tampak menarik bak seorang raja yang punya banyak kharisma. Lambungnya bocor membuatnya sering merasa lapar. Lele goreng jadi menu wajib yang harus disantapnya.

Menurut hasil laboraturium, kadar albumin yang dimiliki kakek tua sangat rendah. Jika ini dibiarkan maka akan terjadi hal yang lebih menguras biaya, karena untuk sekali suntik membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Untuk mengantisipasi hal tersebut, setiap hari kakek tua dianjurkan mengkonsumsi ikan lele oleh dokter. Ikan lele memiliki banyak kandungan, salah satunya untuk menstabilkan kandungan albumin dalam tubuh kakek tua. Meski bosan dan muak, sepiring ikan lele selalu saja menemaninya.

Makan, mandi, nonton tv dan sholat hanya bisa dia lakukan di atas kasur busa warna jingga. Kasur itu ada disebelah jendela di dalam rumah tua. Temboknya dipenuhi memar dan luka. Didalam rumahnya tak ada benda kecuali raga setengah putus asa.

Semangat hidupnya sirna, yang dia inginkan hanya mati saja. Tapi Tuhan tak lantas mencabut nyawanya. Tuhan ingin menyaksikkan sejuta pasang sabar dan ikhlas darinya. Dia merasa hidupnya terlunta-lunta. Dia merasa tak ada yang mengurusi dan sayang kepadanya.

Hal maklum yang dirasakan oleh setiap orang tua renta, sebesar apapun usaha anak dan cucunya mengobati penyakitnya. Perasaanya akan tetap sama, sama seperti para tua renta yang tidak ada mengasihinya.

Anak perempuannya selalu berusaha, cucunya dengan sepenuh jiwa berbakti kepadanya. Tapi dia tetap merindukan anak laki-laki pertamanya yang entah sedang berbuat apa. Anak laki-laki yang setiap berjumpa mengobral kekayaan semu, tapi semua itu hanya angan-angan belaka.

Tenaga dan pikiriannya selama bekerja dan berumah tangga habis termakan usia. Dia sekolahkan anak laki-lakinya sampai perguruan tinggi. Dengan harapan agar mereka bisa jadi sarjana, tapi sayang sungguh sayang, tak satupun dari mereka meraih gelar sarjananya.

Anak perempuannya memilih bekerja sebagai guru honorer setelah lulus dari sekolah perguruan. Dia bertekad menjadi seorang guru yang ahli dibidang bahasa, karena memang tak diberi biaya untuk melanjutkan studinya seperti kakak dan adik laki-lakinya.

Tapi sekarang justru anak perempuan yang mampu berhasil memakai toga dan meraih gelar sarjana. Predikat sebagi guru resmi sudah lama ditangannya, dedikasinya menjadi seorang guru berhasil mencetak banyak muridnya menjadi juara.

Lima tahun sudah kakek tua meninggalkan pekerjaanya, rumah yang dulunya terlihat paling kokoh sekarang berubah menjadi hampir roboh. Banyak tetangga yang bertanya dan bicara ini dan itu. Rumah dan isinya tak lagi sama seperti sedia kala.

Cucunya terus berusaha menjelaskan keadaan, agar sang kakek mau mengerti dan paham. Tapi cucuran air mata terus membanjirinya. Isterinya tak peduli dan tak mau ambil pusing. Anak pertamanya apalagi, tak pernah sedikit pun tenaga, pikiran dan uangnya keluar untuk mengurusi kakek tua.

Sementara anak laki-laki keduanya tengah sibuk menata rumah tangga yang baru saja dirajutnya. Tapi dia masih ada usaha, selama ada rejeki dia kirim uang untuk membantu kakak perempuannya membeli kebutuhan obat dan vitamin.

Malam demi malam dilalui sang cucu dan kakek tua bersama-sama. Kadang sang cucu merasa ada yang aneh, kakek tua selalu menyebut-nyebut ada seorang perempuan cantik dibelakangnya.

Kakek selalu berpesan agar tamunya itu diperlakukan dengan ramah dan sopan, tapi siapa? Cucu menduga kalau itu hanya halusinasi kakeknya saja. Kejadian itu berlangsung selama setahun lamanya. Hanya karena ingin menemuinya, kakek tua selalu minta untuk dimandikan.

"Kalau perempuan cantik itu memang ada dibelakangku, dia tahu kalau kakek sedang sakit. Jadi dia akan paham kalau tengah malam begini, tidak mungkin bagimu untuk mandi, lihatlah ini jam satu pagi." Sembari menunjukkan jam, setelah mendengar penjelasan dari cucunya, kakek tua merasa nyaman.

Sore itu, seperti biasa sang cucu memandikan kakeknya dengan sepenuh hati. Dia bersihkan semua keringat dan kotoran yang melekat tubuhnya. Dia mandikan kakeknya dengan air hangat menggunakan waslap. Dia rapikan tempat tidurnya seorang diri. Dia pakaikan pempers, sarung dan kemeja kaos dengan hati-hati dan sabar.

Biasanya kakek selalu minta makan dan minum setelah mandi, tapi kali ini tidak. Tidak sama sekali, padahal setiap sore dia selalu cerewet merengek kudapan enak sebagai nyamikkan seperti seorang balita meminta bubur roti dari ibunya.

Sang cucu melihat ada semburat cahaya penuh makna. Karena khawatir terjadi apa-apa, cucu kakek tua melaporkan itu kepada ibunya. Dengan langkah penuh pasti, ibu dan anaknya menghampiri singgasana raja. Raja bagi isteri, anak dan cucu-cucunya.

Nafas kakek mulai tersengal, matanya tertutup dan tangannya sedakep seperti sedang bersiap. Sang ibu menuntunnya dengan doa dan dzikir. Mulut kakek bergerak-gerak, meskipun tak terdengar suara apa yang terucap. Gerak bibirnya mengisyaratkan dia sedang berseru nama Tuhan yang diyakininya.

Tak butuh waktu lama, setelah kakek dinyatakan koma oleh dokter yang dipanggil anak perempuannya kerumah. Kakek tua menghembuskan nafas terkahirnya. Suara tangis dari anak perempuan mengiringi kepergiannya.

Sang cucu hanya terdiam, didalam hatinya dia berdoa. "Pergilah engkau ke sisi Tuhan-Mu, yang menghidupkan dan mematikan. Pergilah dengan bekal ihklas dan sabarmu. Semoga kau bahagia disana."

Pacaran?


Pacaran merupakan suatu hubungan pendekatan sebelum menikah, hubungan ini bisa bikin yang menjalaninya jadi tampak berbeda dari hari-hari biasanya. Yang tadinya nggak suka dandan jadi senang dandan, yang tadinya nggak suka belajar jadi rajin dan giat belajar, yang tadinya nggak punya mimpi dibuat jadi seorang pemimpi, yang tadinya pemarah jadi sedikit kalem. Ahh pokoknya pacaran bisa jadi lebih indah deh!! Tapi semua itu tergantung dari yang menjalaninya, mau dibawa ke arah yang baik atau enggak.

Yang jelas jangan sampai terpengaruh dengan pacaran, kalau bisa kitalah yang harus mempengaruhi hubungan tersebut. Memang tak selamanya pacaran itu indah, hal-hal yang menyakitkan dan mengharukan juga akan dirasakan disetiap insan yang sedang mabuk dalam suka dan cinta.

Kebahagiaan dan kesedihan merupakan fase yang memaksa dimana setiap orang harus bisa menanggapinya dengan penuh cinta, namanya juga pacaran kan? Kalau setiap sedih ditanggapi dengan gengsi dan benci, maka hancurlah hubungan itu. Jangan sampai menyesal karena amarah dan emosi bisa mengakibatkan hubungan tersebut kandas di tengah jalan.

Jenis pacaran pun beragam. Ada yang hubungan jarak jauh atau lebih dikenal dengan long distance relationship alias LDR, ada yang sembunyi-sembunyi atau backstreet, ada yang sekedar teman tapi saling berbagi kemesraan, ada yang sama-sama selingkuh dari pacaranya masing-masing, ada yang nggak jelas tanpa status, ada yang keduanya saling cinta, ada juga cinta sepihak dan masih banyak lagi.

Gaya pacaran pun kini jadi berkembang. Komunikasi dengan pacar jadi lebih gampang, karena perkembangan teknologi yang serba canggih. Yang LDR jadi terselamatkan, bisa saling mention di twitter mengungkapan segala perasaanya disana. Yang suka senam jari jadi lebih enak dan gak perlu gripmaster, karena chat bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun tentu dengan cara apapun.

Maraknya jejaring sosial pun tak luput dari pacaran. Bagi yang suka mengumbar kemesraan. Twitter, Facebook, Path dan Instagram tempat paling pas dan cocok untuk berbagi kasih dan cintanya kepada hal layak. Tapi ada juga yang memilih tidak mengumbar, bukan berarti sembunyi-sembunyi, karena kasih dan cintanya bisa dirasakan dan dijaga keindahanya hanya untuk mereka berdua saja. Bukan orang lain.

Hampir setiap manusia pernah merasakan dan mengerti betul apa itu pacaran melalui berbagai macam hubungan. Meskipun diantara yang satu dengan yang lainnya berbeda. Berubah menjadi yang lebih baik atau enggak sekalipun merupakan perubahan yang akan dialami.

Semua itu adalah proses. Yang jelas pacaran punya tanggung jawabnya masing-masing. Pacaran bukan permainan yang mengandalkan keuntungan. Pacaran bukan mengumbar atau tidak mungumbar kemesraan di jejaring sosial. Pacaran juga bukan sekedar adu gensi atau emosi. Pacaran tidak bisa dinilai dari kata dan angka-angka, melainkan dari hati.

Suara adzan terdengar sampai ke ujung desa, huru hara berubah menjadi sepi. Lasmi seorang wanita muda sedang berdiam diri, mengikuti setiap lafaz seruan Illahi Robbi. Mendoakan suami yang berhasil ditangkap polisi.

Perasaan Lasmi hanyut dalam situasi, Lasmi sudah tak mau lagi buka warung nasi, karena dia tak mau lagi ada caci yang selalu membisiki. "Kenapa manusia tak punya hati, dalam situasi seperti ini, bukan peduli yang kudapat, justru caci maki dari mereka yang kuterima. Apa salah saya Gusti?"

Hidup Lasmi kini mulai teruji, ditengah himpitan ekonomi yang harus mulai mencari nafkah sendiri, Lasmi harus menanggung beban hutang sang suami. Lasmi hanya bisa diam dan menangis dalam heningnya suasana maghrib.

Bukan hanya Lasmi yang kaget, semua penduduk desa bingar. Setelah polisi membawa Sugeng, Lasmi jadi pusat cibiran sana-sini. "Dasar pasangan suami isteri tak tahu diri, tak tahu hukum keramat, pecinta laknat.  Jangan sampai kami semua dapat murka Gusti, karena kamu masih tetap disini,  pergi kamu dari kampung kami, susul suamimu saja sana di kantor polisi."

Tengadah tangan Lasmi seolah tak berarti, tapi dia tetap bertahan dan mengharap belas kasih dari yang Maha Tinggi. "Ya Gusti... Yang memiliki alam semesta dan isinya, yang Maha Melindungi juga Mengasihi. Ampuni dosa mas Sugeng, lindungi dan ringankanlah hukaman yang Engkau timpakan kepadanya di dunia ini, saya pasrah kepada seluruh kehendak-Mu. Tapi saya apa daya jika mas Sugeng harus berlama-lama dalam jeruji besi."

Doa Lasmi terhenti, suara riyuh menghampiri rumah sederhana milik Lasmi. "Ada apa ini, apa yang sedang diributkan orang-orang didepan rumahku?" Lasmi keluar dengan mukenah warna puith yang lamat-lamat menguning karena tumpukan debu yang masih dipakainya.

"Lasmi sebaiknya kau angkat kaki dari rumah ini, kami tak sudi punya tetangga seorang bandar togel!!!" Seru salah satu warga desa Karang Jati.

"Lalu saya harus lari kemana? Saya tidak punya rumah lagi selain tempat ini."

"Teserah, kami tak peduli! Kami tak mau punya tetangga yang setiap hari hidupnya dikejar hutang, kami juga tidak mau punya tetangga seorang penjudi!!! Kami takut tertular."

"Suamiku bukan bandar togel, suamiku bukan penjudi. Masalah hutang yang melanda kami berdua, kalian tak perlu bersuara, itu masalah kami,"

"Yang hutang kami berdua, yang akan melunasi pun juga kami berdua. Kenapa kalian rungsing dengan masalah orang yang tak bisa kalian selesaikan. Kalian juga tidak akan pernah terjerat hutang jika hidup kalian tercukupi."

"Alah... Jangan terlalu banyak alibi. Kalau bukan penjudi, kenapa suamimu bisa jadi tahanan polisi, kamu boleh mencintai suamimu sampai mati, tapi membela sesuatu yang sudah jelas salah itu tak tahu diri!!!" Cela seorang bapak berambut keriting dan berkumis lebat.

"Asal bapak tahu saja, suamiku hanya bekerja sebagai pesuruh, bukan penjudi. Tak perlu sampai mengusirku dan suamiku, toh justru kalianlah para penjudi."

"Jangan asal bicara kamu Las, tidak ada bukti yang mengatakan bahwa kami penjudi." Sahut Paimin, bujang tua yang bekerja sebagai staf kelurahan desa.

"Ah kamu Min, aparat desa tak bermartabat, penjudi sejati yang diselimuti banyak gengsi. Jangan hanya sembunyi dibalik pintu, buru-buru menggerutu biar orang lain tak tahu."

Semua warga terhenyak mendengar pernyataan Lasmi, suasana riyuh dan bising warga seketika berubah menjadi diam dan langsung menatap Paimin.

"Jaga mulutmu Lasmi, jangan lempar kesalahanmu kepadaku!!!" Balas Paimin.

"Apa yang kalian cari dari mengusirku, ini rumahku jadi terserah aku. Tuhan tidak akan membalas perbuatan suamiku kepadamu. Urusan kami dengan Tuhanku biar aku dan suamiku yang menanggung."

"Hati-hati sampean kalau bicara, jangan sampai Tuhan melaknatmu atas dosa suamimu."

"Biar saja, aku sudah pasrah. Jika memang malam ini aku dan suamiku mati, jika memang   hujan batu menimpa rumahku, karena hukum langit terbukti,"

"Aku ikhlas, karena sebenar-benarnya yang berhak memberikan sanksi kepadaku hanya Tuhan, Gusti yang mengadakan siang dan malam tanpa henti. Bukan kalian, sekaliber seorang kyai."

"Lihat Las, mulutmu akan terbukti malam ini."

"Tapi jika aku selamat bagaimana?"

"Akan selamat pula kamu dari tuduhan kami, terserah kamu mau hidup disini sampai kapanpun, kami tak akan risau lagi."

"Baiklah, aku pegang janji kalian. Biar langit yang mencatatnya."

Pertengkaran sengit antara Lasmi dan penduduk desa Karang Jati membawa pada sebuah janji. Janji keramat yang akan membawa mati. Hukum adat sangat lekat bagi penduduk desa. Ibadah keagamaan mereka pun masih kental dengan budaya peninggalan para sesepuh.

Banyak sekali tradisi yang mereka lakukan, upacara sesembahan sampai larung saji. Tak bisa dipungkiri bahwa budaya seperti ini masih sering dikaitkan dengan agama yang dianutnya. Penduduk desa masih peduli dengan hal-hal demikian. Seperti ada garis lurus antara budaya dan agama yang tak terelakkan.

***

Penduduk desa menggunakan akal untuk menghayati sebuah keyakinan dan kitab suci, tanpa menggunakan hati yang sudah mereka terima dari sang Maha Pemberi. Mereka tak mengenal pembaharuan yang marak terjadi, akibatnya banyak dari mereka yang tak mengerti. Tidak selamanya pembaharuan itu salah, meskipun kita wajib berhati-hati.

Lasmi tak pernah mengira akan hidup seperti ini, dia pikir suaminya bekerja sebagai kurir di pasar. Pekerja buruh gendong yang selalu berangkat pagi dan pulang sore hari untuk mencukupi kebutuhan isteri.

Lasmi merasa terhomati dengan uang suci dari Sugeng. Hampir setiap hari Sugeng memberinya uang lima belas ribu rupiah, meskipun sedikit tidak membuat cinta Lasmi padam. Lasmi pun membantu suami mencari uang. Lasmi berjualan nasi didepan rumahnya.

Warung Makan Mbak Lasmi sangat digemari oleh banyak orang, karena lauk pauk yang disuguhkan sangat menarik, enak dan beragam. Tentu dengan harga yang murah meriah pula. Banyak pembeli memuji masakannya.

Meskipun Sugeng seorang buruh gendong, dulunya Sugeng adalah pemuda terkenal dengan kharismanya. Dia adalah seorang santri yang belajar agama dan ilmu pengetahuan di pesantren Asmaul Husna pimpinan Kyai Hanafi, seorang kyai yang banyak dikagumi.

Kursi pemimpin sebagai lurah desa Karang Jati pun pernah menghampiri, tapi Sugeng tolak dengan alasan takut tak bisa memegang amanat. Sugeng tak ingin menjadi pemimpin waktu itu.

Tawaran itu berubah menjadi desakan sana-sini, banyak warga yang mendesak agar Sugeng menerima jabatan tersebut. Lasmi sebagai isteri hanya bisa menyemangati agar suaminya mengambil keputusan tepat.

"Mas, apapun keputusanmu tidak akan merubah cinta dan hormatku kepadamu. Tapi akan lebih bijak jika mas Sugeng memikirkannya terlebih dahulu, sebelum Mas Sugeng menolak mentah-mentah tawaran dari warga."

"Aku merasa tidak sanggup, Las. Aku belum bisa memimpin diriku sendiri, bagaimana aku akan memimpin mereka. Menjadi seorang pemimpin itu tidaklah mudah. Aku saja masih terus berusaha membenahi diri, karena aku juga sudah menjadi pemimpin dirumah ini sekarang."

"Tapi Mas, ilmu yang sudah kamu pelajari selama di pesantren merupakan tanggung jawab yang harus kamu berikan kepada warga juga, kepada desa kita. Jangan kamu pendam sendiri."

"Masih banyak yang pantas menjadi petinggi, tapi bukan aku Lasmi. Bertanggung jawab atas ilmu yang sudah aku terima tidak harus menjadi lurah. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk itu. Mas Sugeng tidak berharap apa-apa, kecuali keutuhan keluarga ini."

"Kalau begitu baiklah, aku tetap mendukungmu Mas."

"Sudah, Mas Sugeng berangkat ke pasar dulu, kamu jaga diri baik-baik dirumah."

Harmoni yang begitu syahdu terpancar dari keluarga sederhana ini, pasangan suami isteri yang belum dikaruniai seorang anak. Sugeng dan Lasmi tak lantas putus asa, mereka selalu berusaha agar bisa mendapatkan momongan. Mereka berdua hidup rukun dan bahagia.

Sugeng menjadi pusat perhatian penduduk desa, banyak sekali yang memuji tapi tak sedikit pula yang mencaci karena benci. Paimin adalah salah satu teman kecil Sugeng sampai sekarang. Hampir setiap hari, hampir disetiap acara yang melibatkan keduanya. Sugeng selalu jadi yang banyak dipuji, sementara Paimin sering dibanding-bandingkan dengannya.

"Lihat itu Sugeng, laki-laki pintar, bertanggung jawab dan sayang terhadap isterinya. Contoh kepala keluarga yang patut dijadikan contoh. Tidak seperti kamu Paimin, bujang tua yang kerjanya cari pelampiasan setiap malam. Penyakit saja isinya." Cletuk seorang ibu sembari menggendong anak balitanya.

Bak disambar bledek, Paimin marah dan semakin benci kepada Sugeng. Tanpa henti Sugeng pun mulai melayangkan aksinya. Paimin sudah tak mau lagi harga dirinya dikecilkan karena Sugeng, yang dianggapnya sebagai laki-laki lemah tak bertenaga karena belum bisa menghamili sang isteri.”

***

Pagi itu, Paimin mendekati Sugeng. Paimin meminta Sugeng menghadiri rapat yang akan diadakannya dirumah pribadi Paimin. Menurut Paimin alasan rapat dengan menggunakan nama desa merupakan cara jitu yang bisa diterima oleh Sugeng.

Pagi berganti senja, puluhan burung emprit bercicuit diatas sarangnya, langit menguning dengan indahnya. Gemercik air sungai mengalir deras. Kerbau, sapi dan ternak lain mulai digiring kembali ke kandang oleh pemiliknya.

Petani dan pembajak sawah mulai beriringan pulang bersama, para isteri menyiapkan hidangan dan suami melahapnya. Silir angin menghembus, dingin mulai meraja lela. Senja berangsur menjadi gelap.

Cahaya temaran dari lampu teplok mulai menyala, satu per satu menutup jendela. Sepi, sunyi, hening suasana malam kala itu. Setapak jalanan mulai dilalui Sugeng. Setelah menempuh perjalanan yang cukup gelap dan tanah becek yang dilaluinya. Akhirnya Sugeng sampai dirumah Paimin.

"Kulo nuwun, Mas Paimin..."

"Oh kamu sudah datanng, ayo-ayo masuk saja."

"Loh kok sepi Mas, mana yang lain? Katanya ada rapat desa."

"Aku sengaja tak mengundang mereka, Geng. Aku hanya ingin berdiskusi denganmu saja. Barang kali kamu bisa memberikan ide dan gagasan baru buat kegiatan yang berguna di desa kita, tapi Geng, panggil aku dengan sebutana nama saja. Toh kita seumuran kan?" Paimin meyakinkan.

"O alah mas... Jika memang seperti itu, kenapa tidak tadi pagi saja pas kita bertemu. Waduh Mas, meskipun mas Paimin satu umuran denganku, tapi mas Paimin seorang staf kelurahan yang harus dihormati dan disegani."

"Kan biar lebih enak ngobrolnya, jadi aku sengaja undang sampean dateng tindak mriki. Walah-walah ndandak ngunu barang, yawislah sakpenakmu wae."

"Baiklah mas, kalau begitu ada apa?"

"Monggo disekecakake penganan lan ombene rumiyen."

"Nggih-nggih mangke kula telaske sedoyo, matur suwun."

Asap rokok kretek mengepul dari mulut Sugeng dan Paimin, keduanya terlibat pembicaraan yang sangat serius. Paimin membicarakan program desa yang akan ditawarkan kepada para penduduk dengan pasti. Sugeng sesekali memberikan saran kepadanya.

Ditengah percakapan, Paimin tak ragu akan gagasan Paimin yang begitu cerdas. Paimin percaya, jika gagasan ini dapat dikerjakan, pasti penduduk desa akan menyangjungnya. Tapi kebencian itu masih ada, Paimin justru semakin benci dan iri. Hatinya mulai tertutup, akalnya bekerja bagaimana cara menghabisinya.

Obrolan berkembang semakin panjang dan lebar, sampai tak sadar sudah tengah malam. Mengingat Lasmi pasti menunggu kepulangannya. Sugeng memutuskan pulang ke rumah. Sugeng pamit pulang membawa uang desa yang diserahkan kepadanya.

Uang tersebut untuk membeli sejumlah karung pupuk, bibit tumbuhan dan pembasmi hama di pasar. Sugeng menerima mandat tersebut. Karena Sugeng merasa hampir setengah waktunya dia habiskan di pasar. Jadi tidak ada salahnya dia ikut membantu Paimin membelanjakan uang tersebut.

Malam yang pekat, dingin yang menusuk kulit membuatnya menggigil dijalan. Sugeng terus berjalan cepat. Suara hewan malam saling bersahutan menggiring langkah Sugeng semakin cepat. Gesekan daun-daun kelapa karena angin pun membuat malam menjadi kian pekat.

Di persimpangan jalan, Sugeng digerogoti apes dan sial. Dia dihadang oleh sekelompok orang menggunakan celurit, uang itu dirampas dengan paksa. Sugeng pun diancam akan dibunuh jika dia berteriak meminta tolong. Sugeng tak bisa berbuat apa-apa. Dia ikhlaskan uangnya dibawa lari oleh para perampok.

***

Dengan segala kebingungan dan takut, Sugeng pulang dengan berlari. Dia gedor pintu dengan tidak hati-hati. Membuat jantung Lasmi berdegup kencang. Sugeng ceritakan musibah yang menimpanya. Kini kesedihan menyelimuti keduanya. Dari mana mereka bisa mencari uang untuk menggantinya dengan jumah yang sangat banyak dalam sehari.

Sugeng tak punya apa-apa lagi, sementara kalung dan cincin Lasmi juga baru saja terjual untuk menutupi cicilan biaya rumah sakitnya yang masih menunggak. Lasmi pernah terserang demam  berdarah, sehingga membutuhkan perawatan yang cukup intensif.

Sugeng dan Lasmi saling bertatapan, ada kebingungan dan luka yang mendalam disetiap pancaran keduanya. Mereka berdua terus berpikir dan berpikir sampai pagi menjelang. Suasana begitu sangat menegangkan.

Keesokan harinya Sugeng dan Lasmi memutuskan mengambil pinjaman di Koperasi Simpan Pinjam atau lebih akrab dengan sebutan Bank tongol. Kebanyakan orang bilang koperasi jenis ini hanya membuat masalah menjadi semakin bermasalah.


Koperasi Simpan Pinjam yang marak dikalangan masyarakat kelas menengah dan bawah ini, merupakan jenis koperasi yang tidak memiliki ijin usaha koperasi. Pun jika jenis koperasi ini masih beroperasi, biasanya koperasi tersebut mengantongi ijin usaha yang tidak berlaku atau ilegal. Bisa saja ada campur tangan oknum didalamnya.

Suku bunga yang dipatok kepada peminjam pun menacapai 30% sampai 40% dari nominal yang dipinjam. Ini melibihi suku bunga yang ada di Bank resmi.Tentu koperasi ini menyalahi ketentuan undang-undang perkoperasian yang berlaku.

Biasanya mereka menawarkan pinjaman dengan cicilan rendah, jumlah yang harus mereka bayar mencapai lima ribu per-hari sampai seratus lima puluh ribu per-minggu. Padahal kalau dihitung-hitung mencapai suku bunga yang tinggi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomer 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi, badan hukum koperasi hanya diperbolehkan kepada para anggotanya saja. Tapi yang terjadi koperasi ini memiberikan pinjaman kepada semua masyarakat tanpa harus menjadi anggotanya terlebih dahulu

Ironisnya banyak orang awam menggunakan cara tersebut untuk menutupi kekurangan atau menambah modal usahanya, karena tak dapat dipungkiri dari mana lagi mereka bisa terus melanjutkan hidup yang serba mahal ini.

Siapa yang tahu, nasib Sugeng dan Lasmi kini berubah. Mereka berdua terjerat hutang piutang. Penghasilan keduanya pun jika digabungkan belum bisa mencukupi biaya hidupnya sehari-hari apalagi untuk membayar cicilan hutang. 

Sugeng dan Lasmi harus memulai kerja ekstra, Sugeng jadi jarang pulang. Dia perpanjang waktu kerjanya sampai pagi ketemu pagi. Begitupun Lasmi, pagi dia berjualan nasi, sementara malamnya dia membantu jaga toko obat milik tetangganya.

Memang susah mencari tetangga yang baik, yang tidak pernah peduli mengurusi persoalan suami isteri yang lain. Apa yang sebenarnya dalam ajaran agama memang tak sebenarnya apa yang manusia amalkan di dunia. Banyak yang begitu.

Mereka mengaku sebagai jamaah yang taat, mereka dekat dengan Tuhannya. Tapi hubungan mereka dengan manusia lain saling adu gengsi. Sekecil apapun masalah yang dihadapi, akan menjadi lubang yang akan terus digali.

Hutang yang menjerat Sugeng dan Lasmi terdengar sampai pelosok desa. Mereka kini jadi perbincangan hangat yang sering digunjingkan orang-orang. Lasmi sudah mendengar kabar itu, tapi dia tak mau ambil pusing dan peduli.

"Toh kalaupun aku ceritakan masalah yang sesungguhnya. Apa mereka mau menerima? Apalagi ini menyangkut soal uang. Mereka tidak akan peduli, justru caci maki dari mereka yang aku terima setiap hari. Ini tetap akan menjadi omongan sana-sini!" Keluh Lasmi kepada suami.

Semakin hari kondisi keuangan Sugeng dan Lasmi tak terkendali. Sugeng pun mulai mendapat tawaran sebagai penjual togel, dengan iming-iming keuntungan yang besar. Tawaran tersebut datang dari Paimin. Awalnya Sugeng menolak, karena pernah mendengar kabar bahwa polisi sering megadakan operasi. Tapi Paimin lagi dan lagi mulai mendesaknya.

Togel merupakan jenis permainan yang bisa membuat banyak orang mabuk kepayang, senang karena menguntungkan, tapi tak jarang sangat merugikan. Permainan ini sempat mendapat ijin pemerintah pada tahun 1986.

Meskipun pemerintah sudah menutup dan menyatakan larangan permainan ini pada awal tahun 1990, masih banyak kalangan yang menggunakan cara ini mencari pundi-pundi rejeki. Permainan ini dilakukan secara sembunyi dan hati-hati. Tapi pengelolaannya dilakukan secara modern dan tersebar sampai kepenjuru negeri.

Satu kupon togel berharga seribu rupiah, setiap kupon hanya bisa diisi dengan satu bilangan, yang teridri dari; dua angka, tiga angka bahkan empat angka. Jika pemain atau pembeli berhasil menebak nomer yang keluar, maka mereka akan mendapatkan hadiah dengan ketentuan sesuai dengan jumlah nomer tebakan yang dipasang.

"Ah aku coba saja sekali, cukup sekali jika memang apa yang dikatakan Paimin benar. Aku tak perlu lagi cari uang seperti ini, begitu pun Lasmi. Aku sudah lelah kerja sana-sini, toh aku hanya sebagai pesuruh saja bukan pembeli." Sugeng berbicara sendiri.

Dengan diam dan sembunyi-sembunyi, Sugeng mengikuti cara Paimin mengais rejeki. Sugeng menjadi pesuruh orang-orang yang mau membeli togel dengan harga tinggi. Jika nomor togel itu berhasil keluar, maka Sugeng akan mendapat gaji yang lumayan tinggi dari pembelinya.

Rata-rata pembelinya adalah orang-orang kaya yang seharusnya sudah tak perlu lagi mencari uang dengan cara seperti ini. “Tenyata banyak orang kaya penuh gengsi, mencari rejeki agar bisa buat iri. Tak pernah puas dengan apa yang diberi Gusti”. Geming Sugeng dalam hati.

Setelah beraksi Paimin mendapat upah nyali terlebih dulu, satu pembeli memberikan upah sebesar dua puluh ribu rupiah. Selebihnya akan diberi gaji setelah nomer togel berhasil keluar sebagai pemenang.

Dengan riang Sugeng kembali pulang, dia berhasil mendapat seratus lima puluh ribu rupiah dalam satu hari. Lasmi menyiapkan makan malam untuk suaminya. Menunya nasi liwet, ikan asin dan sambal terasi. Makanan tersebut dianggap paling nikmat oleh keduanya.

Saking lelah dan habis tenaganya untuk bekerja seharian, keduanya makan dengan lahap. Sugeng dan Lasmi duduk  berhadapan sembari bercerita kejadian apa saja yang mereka temui dan hadapi sewaktu bekerja.

Sugeng berterus terang dari mana dia mendapat uang sebanyak itu, meskipun Lasmi tidak bisa terima dengan pekerjaan Sugeng sekarang. Tapi Lasmi mencoba mengerti dan memahami kondisi yang dihadapi suami. Lasmi kubur rasa kecewa itu dalam-dalam. Bagaimana pun usaha sang suami harus mendapat puji. Karena siapa yang mau peduli, kalau bukan isterinya sendiri.

"Apapun yang Mas Sugeng kerjakan, Lasmi akan menerima dan mendukungnya. Tapi kalau bisa jangan lakukan itu lagi, Lasmi pegang Janji mas Sugeng,"

"Selain dilarang dan melanggar hukum, Lasmi tidak mau kita berdua menjadi golongan orang-orang yang berputus asa. Orang-orang yang dibutakan jalannya mencari rejeki."

“Iya Las, Mas janji tidak akan pernah melakukan ini lagi. Ini cuma sekali, makanya Mas berharap salah satu nomer yang Mas beli bisa keluar jadi pemenang,"

"Agar Mas mendapat bayaran dan bisa melunasi hutang-hutang kita. Setelah ini selesai, mas akan segera mengakhirinya. Mas sendiri malu, agama yang sudah Mas pelajari jadi tidak ada gunanya."

"Semoga Gusti memberikan yang terbaik, agar kelak kita bisa menjadi golongan orang-orang yang baik.Tak perlu disesali Mas, Gusti Maha Pengampun lagi Maha Mengetahui."

"Amiin ya Robb, jika Tuhan selalu berbelas kasih, Dia tidak akan pernah lupa memberi kasihnya kepada kita semua."

***

Ayam berkokok, Lasmi dan Sugeng memutuskan untuk tidak berangkat kerja hari ini. Mereka ingin istirahat dan menikmati hari. Bercengkrama, memasak makanan yang disukai dengan seadanya. Pasangan suami isteri ini memaku saling memuji.

Siang sekitar pukul 11.00 WIB, rumah Sugeng dan Lasmi disantroni polisi. Suara Paimin terdengar sampai ruang televisi. Karena curiga dari mana suara itu datang menghampiri. Sugeng dan Lasmi keluar rumah.

"Nah, itu dia Pak. Sugeng si bandar togel yang Bapak cari selama ini. Tangkap dia saja Pak, hukum dia dengan seadil-adilnya."

"Selamat siang Pak Sugeng, kami dari kepolisian membawa surat tangkapan sodara atas tuduhan bandar togel."

"Sebentar Pak, mungkin Bapak salah orang. Saya bukan bandar togel, saya seorang buruh gendong di pasar."

"Sebaiknya Bapak jelaskan saja nanti di kantor."

"Maaf Pak, mana bukti yang mengatakn suami saya seorang bandar togel." Sela Lasmi dengan nada tinggi.

"Sodara Paimin sebagai saksinya." Sahut polisi bernama Suparman.

"Kurang ajar kamu Min, kamu khianati aku, ini fitnah... ini fitnah!!!" Teriak Sugeng.

"Tidak ada fitnah, karena semua ini berdasarkan bukti, sudahlah jangan berkelit, kamu patut diadili." Balas Paimin.

"Kamu Min, tega sekali kamu lakukan ini kepadamu suamiku, apa salah suamiku kepadamu." Ucap Lasmi dengan raut muka penuh emosi.

"Sudah sebaiknya kalian jelaskan di kantor saja." Suara polisi tak berseragam.

"Lasmi."

"Mas Sugeng... Mas... Mas Sugeng..." Isak tangis Lasmi membanjiri langkah kepergian Sugeng bersama Polisi.

Semua warga berkerumun menyaksikan penangkapan Sugeng, tak ada satupun yang mencoba menenangkan Lasmi. Semuanya melihat dengan pandangan tajam penuh arti. Kecuali satu tetangga yang memang sangat dekat dengan Lasmi.

“Sabar Mbak, semua ini atas kehendak-Nya, ini merupakan ujian bagi Mbak Lasmi dan suami. Semoga kuat iman dan karena apapun semata-mata untuk menempatkan kalian sebagai makhluk yang dikasihi-Nya”. Sulastri mencoba menenangkan.

***

Malam itu, malam yang dipenuhi dengan kabut tebal. Udara dingin berhasil menembus dinding setiap rumah warga. Suara bledek saling bergemuruh, pertanda akan turun hujan deras. Angin ribut meringkus tumpukan debu dan pasir. Membuatnya berhamburan dan beterbangun.

Dalam malam, Lasmi tetap duduk bersila memanjat doa keselamatan bagi dirinya dan suami. Lasmi takut jika memang akan turun hujan batu menimpa rumahnya. Lasmi mawas diri, dia serahkan hidupnya dengan sepenuh jiwa.

"Kepada siapa lagi saya kembali, kalau bukan kepada-Mu ya Rabbi. Kau yang berhak memberikan sanksi kepadaku. Aku takut kepada-Mu ya Gusti. Saya dan suami adalah pembuat dosa. Ampuni dosa kami. Berika kepada kami keadilan-Mu ditanah ini." Lasmi menangis sesenggukan sampai dia jatuh pingsan, tak ada yang bisa menolong Lasmi. Karena dia dirumah seorang diri.

Sudah cukup lama Lasmi jatuh pingsan, Lasmi terbangun dalam kondisi lunglai karena seharian tak makan. Lasmi bangun dan meminum segelas air putih. Lasmi duduk sambil meratapi apa yang sedang terjadi.

Suara detik jam dinding menemani sunyinya Lasmi, Lasmi melihat cahaya matahari masuk melalui fentilasi. Lasmi teringat dia jatuh pingsan semalam tadi. Dan sekarang dia terbangun tanpa luka sedikitpun yang ada ditubuhnya. Lasmi bergegas keluar rumah.

"Wahai penduduk desa Karang Jati, lihatlah apa yang terjadi! Tak ada luka sedikitpun. Tuhan menyelamatkanku dari tuduhan kalian kepadaku. Bukti Tuhan lebih utama dari pada bukti-bukti kalian, Lihatlah, apa yang akan kalian cari lagi,"

“Apa yang kami alami adalah apa yang kami hadapi, bahkan kalian tetangga yang harusnya peduli tapi justru mencaci setengah mati. Kutukan keramat dan adat yang ada didesa ini, jelas tak terjadi”.

"Tak ada sesaji dirumah kami, aku berdoa larut malam sampai jatuh pingsan. Aku berdoa dengan sepenuh hati, meminta belas kasih sang Gusti. Lihatlah, lihat....!!!"

Suasana desa menjadi hening menyaksikan Lasmi berseru didepan rumahnya, air mata pun tak luput meembanjiri pipinya. Semua warga tertegun berdiri kaku melihat apa yang terjadi. Hukum keramat yang mereka percaya, benar-benar tak terjadi.

Dari kejauhan terdengar suara teriakan memanggil nama Lasmi, semua menjadi semakin bingung, saling memandang dan bertanya-tanya. Lasmi yang mengenal suara itu menjadi semakin tak karuan, rasanya tumpah ruah dan akhirnya menangis lagi.

Tapi lama-lama suara itu semakin dekat, sampai batas penglihatan manusia, mulai muncul Sugeng sedang berlari memanggil-manggil nama Lasmi. Dia berlari menuju arah Lasmi. Lasmi berdiri dan kaget melihat suami bisa kembali.

"Lasmi...."

"Mas Sugeng... Mas Sugeng..."

"Lasmi aku bebas dari tuduhan tersebut, bahkan aku dapat ganti rugi." Lasmi dan Sugeng saling berpelukan dengan erat, melepas bahagia bisa bersama lagi.

"Matur sembah nuwun Gusti... Engkau tunjukkan kepada kami sebenar-benarnya bukti." Doa Lasmi.

"Tadi pagi aku dilepas dari tudahan yang ditujukan Paimin kepadaku, karena aku tidak terbukti menjual togel apalagi berperan sebagai bandarnya. Memang aku pernah membeli, itupun sebagai pesuruh saja, tapi tak ada bukti aku pernah membeli, jadi aku dilepaskan,"

"Justru sekarang polisi yang akan mengangkap perbuatan keji Paimin, dialah bandar togel yang sebenarnya. Dan yang merampok uangku ditengah perjalanan pulang juga anak buah Paimin. Jadi aku bebas dari tahanan dan menuntut balas keadilan. Selain akan dibui dia kutuntut ganti rugi."

Semua warga merasa sangat malu telah menuduh pasangan suami isteri ini, mereka sadar bahwa kebahagian Sugeng dan Lasmi memang sejati. Hidup sederhana dan menikmati apa yang diberi dari Sang Maha Pemberi dengan syukur nikmat. Menjual diri dengan gengsi demi sebuah tendensi, akan mengakibatkan luka hati. Entah persidangan negeri atau akhirat nanti.

~ sampun ~