Kelabu


Terik panas matahari begitu menyengat. Asap knalpot ngebul dari kendaraan roda dua sampai roda empat. Pedagang asongan menambah suasana semakin gaduh dan riyuh. Pengamen jalanan nenteng gitar kesana kemari. Kala itu tampak begitu jelas betapa meriahnya jalanan ibukota dengan segala keruwetannya. Tua muda saling menikung, saling serempet satu sama lain. Tak kenal senyuman melainkan ketegangan dan kepura-puraan. 

Secarik kertas dia simpan dalam kantung celana jeans biru yang diambilnya dari jemuran tetangga. Kertas itu bertuliskan puisi sebagai modal hidupnya untuk membeli makan. Begitu seterusnya sampai dia dapat mengumpulkan uang untuk mencari tempat tinggal yang baru.

Andai saja mereka tak memilih lari, andai saja mereka mau menghadapi, mungkin kehidupannya tak kan seperti ini. Merasa diasingkan keluarga karena kasus penipuan dan pelarian sejumlah uang yang dilakukannya. Merasa bapak, ibu dan saudara kandungnya mengutuk segala perbuatannya. 

“Ketika aku dalam kondisi down, aku membutuhkan sosok orang tua yang mau mengayomi dan melindungi, tapi aku diusir dan disuruh pergi.” Pernyataan kolot yang tak mau mencoba memahami diri sendiri. Betapa menyusahkannya seorang anak terhadap kedua orang tuanya yang sudah mulai menua.

Semasa kecil dia diberi kehidupan yang enak, maklum kedua orang tuanya termasuk orang berada. Semasa kuliah dia diberi penghidupan yang layak di kota seberang oleh kedua orang tuanya, sebagai balasannya dia tak mau belajar serius dan memilih pesta pora sepanjang hari. 

Dia habiskan kiriman uang bapak dan ibunya untuk menikmati hari dengan segala macam yang terkini. Sungguh anak yang tak mau balas budi!!! Sungguh disesalkan, kenapa sampai detik ini dia masih tidak mengerti kondisi. Kondisi bahwa sesungguhnya orang ini sama sekali tak punya nurani. Kondisi yang mengenalkannya kepada seoarang wanita yang kemudian diperisteri. Wanita yang mempunyai sifat sama, sama-sama tak punya hati.

Setelah menikah, mereka tinggal di sebuah rumah yang sudah disediakan peralatan rumah tangga oleh kedua orang tuanya. Keduanya diberi jabatan disebuah pabrik es, tapi tak belangsung lama karena kasus korupsi yang dilakukan keduanya. Bisnis yang dijalaninya pun mandeg karena mereka tak bisa dipercaya. Jalan hidupnya tak bisa masuk diakal, yang dilakukan terus-terusan ditaburi bumbu-bumbu nakal.

Banyak kasus yang bermasalah dengan hukum, tapi dia memilih lari dan pergi. Dia tinggalkan orang-orang yang sudah kena tipu, tanpa berpikir bahwa mereka akan menemui sang ibu. Bagaimana orang tua tak menjerit kesakitan, mendengar anaknya selalu saja membuat masalah dan onar. 

Masalah hukum, hutang piutang dan penipuan yang dilakukannya. Orang tua bisa berbuat apa lagi! Berdoa sepanjang hari, tak membuatnya mawas diri. Bapak dan ibunya hanya bisa berdiam diri selama disantroni para polisi. Mau digeledah sepanjang hari pun tak akan bisa menemukan sepasang suami isteri ini. Bapak dan ibunya saja tidak tahu kemana mereka pergi. 

“Kami sadar bahwa anak kami salah, hukum saja dengan seadil-adilnya. Tapi mereka tak sembunyi didalam rumah ini. Jika kami harus menebus kesalahannya, kami tidak sanggup secara materi.” Ibunya pasrah.

Mereka berhasil lari sampai DKI, bertemu berpasang-pasang muka pelaku korupsi. Hari demi hari dilalui dengan sedikit sisa nyali. Mencuri, mengarang cerita dan membaca puisi mereka lakukan demi perut terisi. Bukan suatu perenungan, bukan pula penyebab instropeksi. 

Mulut dan hati malah semakin mencaci maki kondisi tiada henti. Semua kejadian tidak membuat keduanya berhenti, melainkan menanam benci. Benci yang tak pantas mereka rasakan, karena kepada siapa kalau bukan kepada mereka sendiri!

Tak disadari mereka berhasil mengumpulkan pundi-pundi tuk kembali, dengan modal berani mereka menemui bapak dan ibunya. Sang bapak menyarankan agar tetap disini, merajut bisnis kembali. Keesokan harinya mereka yang justru tak berani dan memilih lari dan pergi. Sudah diberi hati, mereka lagi-lagi cari sensasi. 

Lelah mengurusi apa kehendak mereka, marah melihat ulah mereka, kesal menyaksikkan betapa kerdilnya anak mereka. Hidupnya dibuat susah sendiri, jadi mafia kok nanggung. “Aku bisa kaya meski harus masuk penjara terlebih dulu, tapi aku tak sudi. Nanti keponakanku yang akan bahagia, wong aku gak punya anak kok.” Tanpa sadar dan kendali, isi hati mulai terdengar. 

Jelas mengapa dia hidup seperti ini, sebagai pengobral janji yang lebih banyak mengelabui. Mungkin sekarang dia berhasil lari, tapi apa tidak terpikirkan kalau suatu saat nanti kebenaran akan terungkap. Sepandai-pandai orang berbohong, suatu saat akan tercium aroma kebohongan dan tipu muslihatnya, jadi berhati-hati saja.

Kini pasangan suami isteri itu hidup bersama disebuah rumah sederhana hasil penjualan rumah kedua orang tuanya. Bapaknya meninggal sudah dua tahun lamanya. Ibunya memilih tidak tinggal bersamanya. Isterinya hanya bisa menyediakan makanan basi karena mulutnya tak pernah mau sadar diri. 

Obral omongan kesana kemari. Tak perlu menjadi orang yang baik hati, karena kejahatan yang dilakukannya pun tak ada hasilnya. Semuanya terasa sangat percuma. Mungkin hanya mati yang bisa mengobati segala luka yang terpatri.

0 comments:

Post a Comment